JATIMTIMES - Di sebuah sudut Taman Walet, tepatnya di sebuah warung kopi sederhana di Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, papan-papan catur berjajar rapi di atas meja kayu. Asap kopi mengepul, tawa bercampur bisik-bisik strategi terdengar bersahutan, sementara tangan-tangan cekatan bergerak memindahkan pion, kuda, dan menteri.
Minggu pagi hingga sore (3/8/2025), bukan sekadar turnamen yang berlangsung. Ada semangat yang lebih dalam: menghidupkan kembali catur sebagai ruang berpikir, sebagai latihan hidup, sebagai warisan yang tak boleh lenyap.
Baca Juga : Paguyuban PKL GOR Indoor Trunujoyo Gelar Rapat Evaluasi, Perkuat Sinergitas dengan Pemerintah
Warkop Boy Jezz, tempat yang biasanya menjadi titik pertemuan warga untuk bercengkerama, tiba-tiba menjadi arena adu strategi lintas usia. Turnamen catur yang digagas oleh komunitas pecinta catur bersama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Sukun ini menghadirkan suasana yang jauh dari formal, tapi sarat makna.

"Kami bukan hanya ingin memeriahkan 17-an. Ini soal menyentuh kembali akar permainan ini, catur adalah filosofi, bukan hanya olahraga," ujar Sutrisno Edy, salah satu inisiator kegiatan, yang sejak awal menggagas ruang-ruang publik sebagai tempat hidupnya kebudayaan berpikir.
Turnamen ini bukan perhelatan besar dengan gemerlap sponsor atau baliho raksasa. Namun, justru karena kesederhanaannya, ia memuat makna yang lebih jujur dan membumi. Sebanyak 50 peserta dari berbagai wilayah di Malang Raya, termasuk Kota Batu, Dau, dan Singosari, datang dengan satu semangat: bermain sambil belajar berpikir.

Menariknya, lintas generasi bertemu di sini. Dari anak-anak yang masih duduk di bangku SD hingga warga lanjut usia, semua menyatu dalam satu arena, saling menguji, saling menghormati langkah.
“Anak-anak ada sekitar sebelas orang. Mereka memang tidak dikategorikan khusus, tapi kehadiran mereka itu penting. Mereka belajar banyak di sini. Bukan soal menang atau kalah, tapi soal bagaimana melangkah,” kata Sutrisno.
Tak ada batasan usia, tak ada syarat baku. Turnamen ini menerima siapa saja yang ingin ikut, selama ada kemauan untuk duduk dan berpikir. Dan justru di situ, kekuatannya.

“Lawannya bebas. Yang penting niat dan keberanian duduk di depan papan catur,” imbuhnya.
Turnamen ini harus dibatasi pada 50 peserta, bukan karena kurangnya peminat, melainkan karena keterbatasan ruang. Sutrisno mengungkapkan bahwa jumlah pendaftar sebenarnya jauh lebih banyak. Namun kapasitas tempat hanya memungkinkan maksimal 25 meja.
“Kalau disesuaikan dengan antusiasme, harusnya kami siapkan 100 meja. Tapi ruang warkop ini terbatas. Ini alasan kami ingin mengembangkan ke ruang luar, seperti jalur menuju taman. Supaya orang tua bisa menunggu anaknya bermain di taman, sementara pertandingan berlangsung di jalur luar,” ungkapnya.

Visi ke depan sangat jelas: bukan sekadar memperluas kapasitas, tetapi juga mengubah ruang-ruang biasa menjadi panggung pendidikan alternatif. Jalan kecil, taman, atau bahkan gang bisa diubah menjadi ruang yang hidup.
Lebih dari sebuah turnamen, bagi komunitas ini, catur adalah latihan hidup. Permainan ini mengajarkan bahwa setiap langkah punya konsekuensi. Sekali melangkah salah, maka dampaknya bisa panjang. Dan pemahaman ini, menurut Sutrisno, sangat dibutuhkan oleh generasi muda.
“Kalau langkah salah, bisa rusak ke depan. Jadi kami ingin anak-anak belajar berpikir panjang. Ini soal pembentukan karakter. Kadang orang tua lupa, bahwa mendidik anak berpikir itu lebih penting dari sekadar nilai rapor,” tuturnya.
Baca Juga : Gus Qowim: Budaya Patut Dikembangkan Agar Tetap Hidup dan Mengakar Dalam Masyarakat
Baginya, catur adalah simbol. Di balik pion kecil itu, ada latihan berpikir, ada pendidikan tentang sebab-akibat, ada ajaran tentang kejujuran dan kesabaran. Bahkan, ia menyebut orang tua sebagai 'raja' dalam kehidupan anak. “Raja itu tetap berdiri, meskipun anak salah langkah. Tapi kita harus terus mengarahkan,” katanya pelan.
Seluruh kegiatan ini terlaksana tanpa panitia formal. Semua bergerak atas dasar kesukarelaan dan semangat gotong royong. Dana kegiatan bersumber dari donatur lokal yang turut menyumbangkan secara spontan.
Hadiah yang tersedia mencapai jutaan. Juara pertama mendapatkan Rp 500 ribu, sementara sisanya disesuaikan. Total ada 15 peserta yang memperoleh penghargaan. Namun yang paling penting bagi mereka bukan nominal hadiah, melainkan suasana yang terbangun.
“Donaturnya ada beberapa orang, ada yang menyumbang dana, ada yang bantu tempat. Ini kegiatan yang lahir dari semangat warga, bukan dari instruksi,” jelas Sutrisno.
Turnamen ini merupakan edisi ketiga yang digelar di Warkop Boy Jezz dan LMPK Sukun. Dua turnamen sebelumnya bersifat lokal, dan kali ini dibuka lebih luas. Harapannya, kegiatan seperti ini bisa menjadi agenda rutin, bahkan ditingkatkan menjadi event komunitas catur terbuka se-Malang Raya.
Di tengah gempuran game daring dan konten cepat, kegiatan seperti ini menjadi oase yang langka. Di papan catur, tak ada cheat, tak ada jalan pintas. Setiap pemain dituntut sabar, cermat, dan penuh pertimbangan.
“Kami hanya ingin mengajak masyarakat, terutama anak-anak, untuk kembali belajar berpikir. Catur adalah warisan budaya berpikir. Kalau dibiarkan mati, maka hilang juga cara kita berpikir pelan dan matang,” pungkas Sutrisno.