Air Mata Trah Amangkurat III: Pangeran Tepasana Tewas Dicekik

Reporter

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

28 - Dec - 2025, 03:33

Makam Pangeran Tepasana di Situs Setono Gedong Kota Kediri. Di ruang sunyi ini, putra Amangkurat III dimakamkan setelah wafat dicekik di Kartasura. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Kartasura pada pertengahan abad ke-18 adalah kerajaan yang kehilangan keseimbangannya. Di balik tembok istana yang megah, di antara alun-alun dan benteng yang dibangun sebagai lambang keagungan Mataram, sesungguhnya bergejolak rasa takut, iri hati, dan fitnah. 

Babad Tanah Jawi, sumber utama yang mencatat denyut istana itu, mengungkapkan dengan getir: saat raja kehilangan budi dan para patih bermain api, rahayu kerajaan sirna, dan darah bangsawan mengalir bukan di medan laga, melainkan di dalam keraton sendiri.

Baca Juga : Saksi Ungkap Detik-Detik Temukan Satu Keluarga Tewas di Situbondo

Salah satu kisah paling kelam dari masa pemerintahan Pakubuwana II adalah kematian Pangeran Tepasana, putra Amangkurat III sekaligus mertua sang raja. Ia bukan pemberontak bersenjata, bukan pula pengkhianat yang membawa pasukan. Namun di tengah pusaran intrik dan kecurigaan politik Kartasura, darah bangsawan tidak lagi memberi perlindungan. Dalam suasana penuh fitnah, ia ditangkap dan dihabisi oleh prajurit istana atas perintah Pakubuwana II sendiri, yang dibutakan oleh bisikan orang-orang dekatnya.

Tragedi itu bukan semata persoalan keluarga, melainkan bagian dari pembersihan politik terhadap keturunan Amangkurat III, yaitu trah yang sejak awal berusaha dipadamkan dari gelanggang kekuasaan. Kematian Tepasana menandai upaya sistematis untuk menghapus warisan darah lama yang dianggap mengancam legitimasi raja. Namun dari garis keturunan yang dibungkam itulah kelak lahir Raden Mas Garendi, yang bangkit sebagai Amangkurat V, simbol perlawanan terhadap istana dan kekuasaan kolonial.

Keraton kartasura

Kartasura dalam Bayang Ketidakstabilan

Menurut Babad Tanah Jawi, masa pemerintahan Pakubuwana II ditandai oleh hilangnya keseimbangan batin. Raja muda yang naik takhta menggantikan ayahnya, Amangkurat IV, digambarkan sebagai sosok halus dan berperasaan lembut, tetapi kurang tegas dalam mengambil keputusan. Dalam keadaan semacam itu, kekuasaan istana mudah digerogoti oleh pengaruh orang-orang di sekelilingnya.

Di balik kelembutan wataknya, kehidupan pribadi Pakubuwana II mencerminkan kerumitan politik Kartasura. Ia memiliki beberapa istri, salah satunya Retna Dumilah, putri Pangeran Tepasana, keturunan langsung Amangkurat III yang pernah diasingkan bersama keluarganya oleh VOC. Pernikahan ini bukan sekadar urusan rumah tangga, melainkan langkah politik yang sarat makna. Melalui Retna Dumilah, darah Amangkurat III kembali bersatu dengan garis penguasa Kartasura.

Dalam pandangan istana, perkawinan tersebut menjadi simbol rekonsiliasi dinasti yang selama puluhan tahun terpecah oleh dendam dan pengkhianatan. Retna Dumilah bukan hanya permaisuri, tetapi juga jembatan sejarah yang memulihkan legitimasi trah yang pernah disingkirkan. Ia membawa kembali nama keluarga yang dicap sebagai pengkhianat, menjadikannya bagian sah dari lingkar kekuasaan kerajaan.

Pada masa itu, salah satu tokoh yang paling menonjol adalah Ki Patih Natakusuma, sosok licik dan pandai menyusun kata. Ia bukan bangsawan berdarah tinggi, melainkan pejabat yang naik karena kepandaian. Dalam Babad Tanah Jawi, Natakusuma digambarkan sebagai tokoh yang sanggup “nggulingaké raos sang nata,” yaitu membolak-balikkan perasaan raja. Ia tahu betul kelemahan Pakubuwana II: mudah percaya pada bisikan, mudah takut kehilangan dukungan, dan mudah terseret dalam rasa curiga terhadap keluarganya sendiri.

Kartasura pada masa itu berada dalam pergulatan batin antara dua kekuatan: keluarga bangsawan darah Mataram yang ingin menjaga martabat dinasti, dan para pejabat birokrat serta pelayan istana yang mengandalkan kelicikan dan jaringan kekuasaan. Di tengah ketegangan tersebut, muncul serangkaian tuduhan dan fitnah terhadap para pangeran, dimulai dari Pangeran Puspadirja dan Pangeran Puspitanaya hingga akhirnya menjerat Pangeran Tepasana.

Pakubuwana II

Awal Fitnah: Pangeran Puspadirja dan Puspitanaya

Dalam Babad Tanah Jawi, kisah terbunuhnya Pangeran Tepasana dimulai ketika Ki Patih Natakusuma menanamkan rasa curiga di hati raja. Dikisahkan, ia datang menghadap dengan wajah khidmat, dan berkata bahwa dua pangeran, yaitu Pangeran Puspadirja dan Pangeran Puspitanaya, tengah menyusun rencana makar.

Alasannya tidak kuat: keduanya dianggap sering berkumpul, berbicara tentang masa lalu, dan memiliki simpati dari sebagian prajurit. Tetapi di istana yang sudah terbiasa hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan, percikan kecil semacam itu bisa menyulut api besar. Raja gelisah. Patih menambah kegelisahan itu dengan kata-kata halus:

“Dalem ingkang sinuhun, sampun kenging ginunggung déning sedulur dalem piyambak. Menawi boten dipun linggih, badhé ngantos paring ngèngèr dhateng ratu.”

Pakubuwana II pun mulai percaya bahwa para pangeran itu berbahaya. Fitnah yang dimulai dari kata berubah menjadi tindakan. Kedua pangeran dipanggil ke istana. Mereka datang dengan hati bersih, tidak tahu bahwa panggilan itu bukan untuk menerima anugerah, melainkan untuk menghadapi maut.

Dalam Babad Tanah Jawi, digambarkan bahwa setelah mereka menghadap, Natakusuma memberi isyarat kepada pengawal untuk “ngiket lan nyekel”. Tidak ada perlawanan. Mereka tidak sempat menjelaskan apa pun. Ketika raja menanyakan kebenaran tuduhan itu, keduanya hanya menunduk dan berkata, “Kula boten ngèngèr, dalem.” Namun kata-kata mereka tenggelam oleh keputusan yang telah dibisikkan sebelumnya.

Dalam kisah itu tertulis singkat dan tajam, “Kaping pisan ing Kartasura getih trahing nata mili tanpa sabab.” Peristiwa itu menandai untuk pertama kalinya di Kartasura, darah keturunan raja tertumpah tanpa sebab yang jelas.

Kartasura

Patih Natakusuma dan Politik Ketakutan

Setelah dua pangeran itu tewas, suasana istana tidak menjadi tenang. Justru semakin mencekam. Sebab setelah darah mengalir, muncul rasa bersalah yang disembunyikan oleh ketakutan baru. Raja merasa terancam oleh bayang-bayang dosa sendiri. Ki Patih Natakusuma memanfaatkan keadaan ini. Ia menegaskan bahwa jika dua pangeran itu benar-benar bersalah, tentu masih ada jaringan yang tersisa di istana.

Nama berikut yang muncul dari bibir Natakusuma adalah Pangeran Tepasana. Dalam Babad Tanah Jawi, ia disebut sebagai seorang pangeran yang halus budi, tidak gemar mencampuri urusan politik, dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama para guru serta santri di sekitar Kartasura. Namun justru karena ketenangan dan wibawanya yang besar, ia dianggap berbahaya.

Asal-usul Tepasana dapat ditelusuri langsung ke jantung luka lama dinasti Mataram. Ia adalah putra dari Sunan Amangkurat III, raja Mataram yang dikudeta oleh pamannya sendiri, Pangeran Puger, yang kemudian naik takhta sebagai Sunan Pakubuwana I dengan dukungan Kompeni Belanda. Kekalahan Amangkurat III dalam Perang Suksesi Jawa memaksa dirinya dan seluruh keluarga diasingkan ke Sri Lanka. Dalam pandangan Jawa, pembuangan itu bukan sekadar hukuman, tetapi pemutusan wahyu keprabon, seolah hubungan kosmis antara raja dan tanah leluhur telah diputus.

Tepasana tumbuh di tanah asing, jauh dari akar Mataram. Namun ingatan tentang asal-usulnya tidak pernah pudar. Dalam catatan kolonial dan naskah Jawa, keturunan Amangkurat III tetap memelihara kesadaran diri sebagai pewaris sah takhta yang dirampas. Ketika Pakubuwana II naik takhta di Kartasura pada tahun 1726, mulai muncul gagasan untuk mengakhiri pengasingan panjang itu. Di bawah pemerintahan yang dikelilingi intrik istana dan tekanan dari Batavia, muncul sejumlah pejabat yang berani mengusulkan rekonsiliasi, salah satunya Ki Patih Natakusuma.

Natakusuma, bersama Tumenggung Tirtawiguna, Raden Suralaya, dan Ki Arya Kudus, mengajukan permohonan resmi kepada Gubernur Jenderal di Batavia agar keturunan Amangkurat III diizinkan pulang ke Jawa. Permohonan itu tidak hanya berisi permintaan pemulangan keluarga kerajaan, tetapi juga pengembalian pusaka-pusaka Mataram seperti keris, tombak, bende, dan pakaian sakral. Dalam pandangan kejawen, pusaka adalah lambang wahyu dan legitimasi raja. Tanpa pusaka, kerajaan kehilangan ruh kekuasaannya.

Setelah perundingan panjang, permohonan itu akhirnya dikabulkan. Sekitar dua ratus anggota keluarga besar Amangkurat III dikirim kembali ke Jawa. Di antara nama-nama penting itu tercatat Pangeran Tepasana, Pangeran Mangkunagara, Pangeran Pakuningrat, Raden Jayakusuma, dan Pangeran Emas. Mereka tiba di Semarang dan disambut dengan upacara kebesaran, dijemput oleh Tumenggung Mangkunagara dan Tumenggung Mangkuyuda, lalu diarak menuju Kartasura.

Di keraton, surat resmi dari VOC dibacakan dalam pisowanan agung, diikuti penyerahan pusaka setelah tiga hari. Peristiwa itu kemudian dikenang melalui sengkalan Janma Kawayang Karengeng Bumi, yang bermakna “manusia telah kembali ke tanah leluhurnya.” Sebagai penghormatan, Pakubuwana II memberikan gelar dan tanah lungguh kepada para bangsawan yang pulang. Tepasana menerima seribu lungguh, tanda pengakuan atas kedudukannya sebagai bangsawan utama dari garis Amangkurat III.

Namun pemulangan itu menyimpan lapisan makna yang lebih dalam. Secara lahiriah, tampak sebagai tindakan rekonsiliasi dinasti dan upaya Pakubuwana II memperkuat legitimasi, tetapi dari sisi politik, VOC sedang memainkan strategi halus. Mereka memulangkan keluarga kerajaan yang sudah kehilangan kekuatan sosial dan militer, menjadikan simbol-simbol lama sekadar ornamen istana tanpa daya politik nyata.

Bagi Kartasura, kembalinya Tepasana membawa dampak besar. Ia menjadi pengingat masa lalu yang nyaris dihapus, sekaligus sumber kegelisahan baru. Bagi sebagian bangsawan, kehadirannya berarti kembalinya darah yang pernah dikutuk, darah Amangkurat III yang dianggap membawa sial bagi Mataram. Namun bagi rakyat dan kalangan spiritualis istana, kehadiran Tepasana justru dianggap tanda pulihnya keseimbangan. Wahyu raja yang sempat terputus kini telah menemukan jalannya kembali.

Pangeran Tepasana sendiri menjalani kehidupan yang tenang. Ia lebih banyak bergaul dengan para ulama dan guru spiritual di sekitar Kartasura, menjauh dari hiruk pikuk politik istana. Namun ketenangan itulah yang menimbulkan kecurigaan. Dalam politik keraton, ketenangan seorang bangsawan sering ditafsirkan sebagai siasat. Kewibawaannya yang tinggi membuatnya disegani, dan rasa segan mudah bergeser menjadi rasa takut.

Natakusuma, yang semula menjadi jembatan rekonsiliasi, perlahan berubah menjadi tokoh yang menabur fitnah. Melalui bisikannya kepada Pakubuwana II, ia menanamkan ketakutan bahwa Tepasana tengah membangun pengaruh di luar istana, mungkin hendak menuntut hak leluhurnya. Sang raja yang lemah dan mudah dipengaruhi mulai ragu terhadap niat baik pangeran itu.

Natakusuma menuduh bahwa Tepasana memiliki simpati kepada para bangsawan yang dibuang, dan bahkan mungkin merencanakan pembalasan atas kematian dua saudaranya. Tuduhan ini tidak pernah diuji. Cukup dengan isyarat, raja pun mulai percaya.

Dalam kisah itu tersirat kalimat: “Sunan kapungkur pikantuk raos angèl, nanging ora wani nentang patihé,” yang berarti raja merasa sulit percaya, tetapi tidak berani menentang patihnya.

Patih

Perintah dari Dalam Istana

Hari ketika perintah itu keluar dicatat sebagai hari yang gelap dalam Babad Tanah Jawi. Tidak ada perdebatan di pendapa, tidak ada pengadilan. Hanya perintah singkat dari raja kepada para pengawal:

“Pangeran Tepasana dipundhut nyawané, aja rame.”

Perintah itu bermakna tunggal: dieksekusi diam-diam.

Tepasana sedang berada di kediamannya di Kartasura ketika para prajurit datang membawa perintah kerajaan. Ia tidak melawan. Ia tahu, dalam dunia istana, melawan berarti mempercepat kehancuran. Dikisahkan, ia hanya meminta waktu sejenak untuk berdoa. Setelah itu ia pasrah.

Babad Tanah Jawi mencatat dengan dingin:

“Tepasana kapundhut nyawané déning prajurit, dipun cekek nganti seda.”
Tepasana diambil nyawanya oleh prajurit, dicekik sampai mati.

Tidak ada upacara pemakaman kerajaan, tidak ada doa resmi. Jenazahnya dibawa secara diam-diam keluar dari Kartasura pada malam hari, kemudian dibawa dan dimakamkan di Kediri. Beberapa abdi setia yang menyaksikan kejadian itu meninggalkan catatan singkat: malam terasa berat dan langit mendung, seolah turut menyembunyikan dosa besar di istana.

Makam Pangeran Tepasana hingga kini dapat ditemukan di kompleks pemakaman Setono Gedong, Kota Kediri. Di tempat yang sama juga bersemayam Sunan Amangkurat III, raja keenam Kasultanan Mataram, yang oleh sejarah resmi selama ini dianggap meninggal di pengasingan di Sri Lanka. Namun bagi masyarakat Kediri, Amangkurat III bukanlah raja buangan. Ia dihormati sebagai wali dan tokoh penyebar Islam yang menghabiskan sisa hidupnya dalam kesederhanaan dan ibadah.

Baca Juga : Doa Lintas Agama Warnai Malam Tahun Baru di Balai Kota Surabaya, Wali Kota Eri Ajak Warga Tumbuhkan Empati untuk Korban Bencana

Nama Amangkurat III sering disebut sebagai tokoh antagonis dalam sejarah Mataram. Ia dicap kejam, diktator, dan digulingkan oleh pamannya sendiri, Pangeran Puger. Namun dalam pandangan masyarakat Kediri, sosoknya justru dipandang sebagai raja yang adil dan saleh. Ia dikenal menolak campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Penolakan itu membuatnya menjadi ancaman bagi kolonial, dan karenanya disingkirkan.

Bukti keberadaan Amangkurat III di Kediri cukup kuat. Makamnya berlokasi di Jalan Doho, dalam kompleks yang dikenal sebagai Astana Amangkurat III. Di samping makam utama terdapat kubur pusaka yang diyakini menyimpan benda-benda asli Kasultanan Mataram yang dibawa saat pelarian. Di kompleks itu pula dimakamkan para abdi setia dan keluarganya, termasuk Pangeran Tepasana, putranya yang kelak menurunkan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning, yang juga dikenal sebagai Amangkurat V.

Raden Ajeng Reksoprodjo, abdi dalem yang dipercaya menjaga pusaka kerajaan, juga dimakamkan di tempat yang sama. Situs ini menjadi bukti kuat bahwa Amangkurat III tidak wafat di tanah asing, melainkan kembali ke Jawa dan mengakhiri hidupnya di Kediri. 

Makam pangeran tepasana

Jayakusuma Menyusul

Beberapa hari kemudian, nama Pangeran Jayakusuma juga disebut. Ia dianggap bersekongkol dengan Tepasana. Polanya sama, fitnah, ketakutan, dan eksekusi diam-diam. Dalam Babad tidak disebutkan secara rinci bagaimana Jayakusuma dibunuh, hanya bahwa ia “pinundhut nyawané kaya kang wus winengku.” Dengan demikian, empat pangeran yaitu Puspadirja, Puspitanaya, Tepasana, dan Jayakusuma menjadi korban dari lingkaran fitnah yang sama.

Kartasura, yang dahulu menjadi lambang keagungan Mataram, kini menjadi tempat darah kerabat mengalir di lantai istana.

Korban fitnah

Rahayu Sirna: Kutukan yang Tak Terucap

Setelah peristiwa itu, Babad Tanah Jawi mencatat perubahan suasana di Kartasura. Tidak ada lagi ketenteraman. Raja Pakubuwana II gelisah, istana sepi dari tawa, dan rakyat mulai merasakan hawa panas yang tidak wajar.

Babad menulis dengan bahasa simbolik:

“Kartasura dadi angèl rahayu, kados wuwungan siningit pedhut.”
Kartasura sukar mendapat rahayu, seperti atap yang diselimuti kabut.

Peristiwa pembunuhan Tepasana dianggap menjadi titik balik. Dari situ, kerajaan mulai kehilangan keseimbangannya. Para pejabat mulai saling mencurigai, dan hubungan antara raja dan rakyat menegang. Banyak orang percaya bahwa darah yang tertumpah di istana sendiri telah membawa “lebu dosa” yang tak terhapuskan.

Beberapa waktu kemudian, muncul berbagai bencana: kebakaran besar, wabah penyakit, dan kerusuhan di wilayah sekitar Kartasura. Babad tidak menyebut hubungan langsung, tetapi gaya penulisannya jelas memberi isyarat bahwa semua itu adalah akibat moral dari dosa besar istana.

“Sasmitaning jaman, yen trah nata tumrap marang darahé piyambak, rahayu bakal lunga.”

Tanda zaman, jika raja menumpahkan darah keturunannya sendiri, maka rahayu akan pergi.

Bila ditafsir secara historiografis, Babad Tanah Jawi bukan sekadar catatan kronologis, melainkan cermin moral politik Jawa. Peristiwa Tepasana menggambarkan bagaimana kekuasaan yang kehilangan keseimbangan spiritual akan menelan dirinya sendiri.

Dalam pandangan Jawa, raja yang ideal adalah pancering jagad, pusat keseimbangan dunia. Jika pusat itu ternoda oleh ketidakadilan, maka tatanan semesta akan ikut terguncang. Karena itu, pembunuhan seorang pangeran oleh raja sendiri bukan hanya dianggap sebagai kejahatan politik, tetapi juga pelanggaran terhadap keseimbangan kosmis. Ironisnya, Tepasana adalah mertua Pakubuwana II sendiri.

Peristiwa ini menjadi isyarat menuju kehancuran Kartasura. Setelah darah keluarga mengalir, kerajaan memang tidak pernah lagi tenang. Tidak lama kemudian, muncul pemberontakan besar dari luar, dan istana itu akhirnya hancur. Babad menegaskan bahwa kehancuran itu bukan semata akibat senjata, melainkan buah dari kesalahan moral yang telah dilakukan sebelumnya.

Masjid Kartasura

Kesunyian Sejarah

Yang paling tragis dari kisah ini adalah kesunyian. Tidak ada seruan perlawanan, tidak ada catatan peringatan. Semuanya terjadi diam-diam, sebagaimana cara istana menutupi aibnya. Bahkan dalam penulisan Babad pun, peristiwa itu disampaikan dengan kalimat singkat, tanpa detail, seolah penulis pun enggan menatap luka itu terlalu lama.

Tetapi justru dalam kesunyian itulah kekuatan kisah ini terasa. Sebab Babad Tanah Jawi tidak mengutuk secara terbuka, melainkan membiarkan pembaca memahami sendiri akibatnya. Setelah mencatat kematian Tepasana, teks langsung beralih ke kisah lain tentang kerusuhan dan munculnya ketidakstabilan. Seolah-olah dunia sendiri yang memberi hukuman. Peristiwa itu adalah Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendi, putra Pangeran Tepasana.

Makam Amangkurat III

Catatan Akhir: Lahirnya Garendi dan Raden Supriyadi

Tragedi Pangeran Tepasana bukan hanya lembar kelam dalam sejarah Kartasura. Dalam struktur narasi Babad Tanah Jawi, peristiwa itu menjadi titik balik besar dalam pemaknaan kekuasaan Jawa. Dari seorang raja yang seharusnya menjadi pelindung, penengah, dan sumber rahmat bagi rakyat, kekuasaan berubah menjadi arena ketakutan dan kecurigaan. Raja tidak lagi menjadi pancaran keadilan, melainkan bayangan dari kekuasaan itu sendiri.

Ketika kepercayaan dirusak oleh fitnah, kekuasaan kehilangan arah. Istana berubah menjadi labirin batin yang dilingkari rasa takut dan iri hati. Ki Patih Natakusuma, tokoh yang menanamkan racun dalam hati Pakubuwana II, hanyalah wujud dari penyakit yang lebih dalam, yaitu hilangnya rasa adil dan jernihnya budi. Dalam bahasa Babad, pesan itu dirumuskan secara halus namun tegas:
“Sapa nyawiji marang kuwasa tanpa budi, bakal murih pepeteng.”
Barang siapa menyatu dengan kekuasaan tanpa kebijaksanaan, akan menanam benih kegelapan.

Kartasura kemudian benar-benar runtuh, bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh dosa yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Kematian Tepasana menjadi simbol awal kehancuran moral istana, dan dari reruntuhan itu, lahir generasi yang mewarisi luka sekaligus tekad untuk melawan. Di sanalah jejak Raden Mas Garendi muncul, dan jauh di kemudian hari, darahnya berdenyut kembali dalam diri seorang pemuda bernama Raden Supriyadi.

Asal mula tragedi ini berakar pada pengasingan Amangkurat III, raja sah Mataram yang dikudeta oleh pamannya, Pangeran Puger, pada 1705 dengan dukungan VOC, yang kemudian naik takhta sebagai Pakubuwana I. Kudeta itu memicu Perang Suksesi Jawa I dan berakhir dengan pembuangan Amangkurat III beserta ratusan pengikutnya ke Ceylon. Dalam pandangan Jawa, pengasingan itu bukan sekadar tindakan politik, melainkan pemutusan paksa terhadap wahyu kekuasaan dan luka spiritual antara raja dan jagadnya. Tiga dekade kemudian, di bawah Pakubuwana II, VOC memulangkan keturunan eksil termasuk keluarga Tepasana dan Teposono, namun hanya sebagai simbol kekuasaan yang dijinakkan. Akan tetapi, dari garis yang dianggap telah padam itulah bara perlawanan kembali menyala. Retna Dumilah, putri Pangeran Tepasana, menikah dengan Sunan Pakubuwana II, pernikahan yang menandai kembalinya darah Amangkurat III ke jantung istana Kartasura. Dari rahim sejarah itu lahir Raden Mas Garendi atau Amangkurat V yang menanggung luka pengasingan leluhurnya dan menjelma menjadi api perlawanan terhadap pengkhianatan dan ketidakadilan.

Ketika kerusuhan besar meletus pada 1740, Garendi muncul sebagai pemimpin perlawanan rakyat dan pasukan Tionghoa dalam Geger Pecinan. Pada 1742, ia dinobatkan sebagai raja oleh laskar gabungan rakyat dan kelompok Tionghoa yang menyerbu Kartasura. Dalam waktu singkat, ia menguasai Demak, Kudus, dan Pati. Garendi bukan sekadar pemberontak, melainkan simbol alternatif kekuasaan yang menolak tunduk pada kolonialisme. Ia tampil sebagai raja rakyat yang melawan ketidakadilan feodal dan pengkhianatan elit istana. Meskipun akhirnya dikalahkan dan dibuang, jejaknya tak pernah hilang dari ingatan rakyat.

Sejarah kemudian melanjutkan babaknya dalam senyap. Keturunan Raden Mas Garendi tidak lagi tampil sebagai raja, tetapi menyebar ke berbagai daerah Jawa, terutama ke wilayah Grobogan, Kediri, dan Blitar. Salah satu garis keturunan itu melewati Kanjeng Pangeran Shipan dan Kanjeng Pangeran Tohpati, hingga ke Raden Hadikusumo, Raden Wirjodikromo, dan Raden Soetowidjojo. Dari jalur inilah lahir Raden Sumodihardjo, bangsawan lokal yang bermukim di Blitar. Putrinya, Roro Rahayu, kemudian menikah dengan Raden Darmadi, mantan Wedana Gorang Gareng yang kelak menjabat sebagai Bupati Blitar. Dari pasangan inilah lahir seorang anak yang ditakdirkan menghidupkan kembali api lama: Raden Supriyadi.

Melalui garis ibunya, Roro Rahayu, Supriyadi mewarisi darah Mataram Islam yang mengalir sejak Sultan Agung hingga Amangkurat V. Garis itu dapat ditelusuri lurus dari Panembahan Senapati, Panembahan Hanyakrawati, Sultan Agung Hanyakrakusuma, Amangkurat I, Amangkurat II, Amangkurat III, Pangeran Teposono, Raden Mas Garendi, hingga Raden Supriyadi. Ia adalah keturunan langsung dari raja-raja Mataram yang memikul warisan berat: sejarah pengkhianatan, pengasingan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim.

Namun warisan itu tidak hadir dalam bentuk takhta. Yang diwariskan adalah kesadaran batin, luka kolektif, dan semangat untuk melawan ketidakadilan. Dalam dirinya, darah Garendi menjelma menjadi nasionalisme modern. Ia tidak lagi memperjuangkan singgasana, melainkan kebebasan bagi seluruh rakyat.

Ketika Jepang menduduki Jawa pada 1942, penjajahan datang dalam wajah baru. Pemerintahan militer membentuk tentara PETA untuk melatih pemuda-pemuda pribumi menjadi pasukan pendukung Asia Timur Raya. Namun bagi Supriyadi, pelatihan itu adalah kesempatan untuk membalikkan arah sejarah. Ia memahami bahwa kemerdekaan tidak akan diberikan, tetapi harus direbut.

Sebagai shodanco, ia menyaksikan langsung penderitaan rakyat yang dipaksa menjadi romusha. Ia melihat bagaimana kekuasaan tanpa budi kembali menanam benih kegelapan, seperti yang pernah terjadi di Kartasura dua abad sebelumnya. Maka pada 14 Februari 1945, Supriyadi memimpin pemberontakan PETA di Blitar.

Pemberontakan itu gagal secara militer. Ia menghilang tanpa jejak, dan nasibnya hingga kini masih menjadi misteri. Tetapi secara simbolik, ia mengulang jejak leluhurnya, Raden Mas Garendi, yang juga memimpin perlawanan bersenjata dan menghilang tanpa meninggalkan kubur yang pasti. Dua sosok yang dipisahkan oleh dua abad, tetapi disatukan oleh semangat yang sama: melawan kekuasaan asing dan menegakkan keadilan bagi rakyat tertindas.

Jika dibaca dengan kacamata historiografi kritis, Supriyadi bukan sekadar pahlawan revolusi, melainkan simbol kesinambungan perlawanan Jawa terhadap kekuasaan yang lalim. Ia adalah penerus tak lagi dari garis raja yang kehilangan takhta, tetapi menemukan maknanya kembali dalam perjuangan rakyat. Seperti Garendi, ia menolak tunduk pada penindasan dan memimpin pemberontakan dengan kesadaran moral, bukan ambisi pribadi. Keduanya menghilang dalam kabut sejarah, namun meninggalkan gema yang sama: perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dari pengasingan Amangkurat III hingga pemberontakan Blitar, dari istana Kartasura hingga barak PETA, sejarah itu berputar dalam satu garis nasib yang menegaskan bahwa darah dapat dihapus dari silsilah, tetapi tidak dari ingatan. Supriyadi adalah titik temu antara masa lalu feodal dan masa depan republik, antara pedang leluhur dan senapan revolusi. Ia menjadi suara yang menembus waktu, menegaskan bahwa kekuasaan tanpa budi hanyalah kegelapan yang akan padam oleh cahaya keadilan.

Raden Soeprijadi