Pengging di Hulu Bengawan Solo: Benteng Terakhir Majapahit, Mistik Jawa, dan Produksi Sejarah Pemenang

Reporter

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

27 - Dec - 2025, 09:35

Tampak depan makam Sri Makurung Prabu Andayaningrat, tokoh penting dalam sejarah Pengging. Kompleks makam ini berada di Dusun Malangan, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa tidak hanya ditulis oleh kerajaan besar yang meninggalkan candi megah dan prasasti batu. Ada kerajaan-kerajaan pedalaman yang hidup di antara jalur sungai, hutan, dan gunung, membangun kekuasaan tanpa monumen raksasa, namun memegang peranan penting dalam transisi peradaban. 

Pengging adalah salah satunya. Terletak di wilayah hulu Bengawan Solo, di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu, Pengging menjadi simpul penting jaringan lama Jawa yang mencakup ekonomi, politik, dan spiritual pada paruh akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Baca Juga : Air Tak Bisa Basi, tapi Mengapa Air Minum dalam Kemasan Punya Tanggal Kedaluwarsa?

Historiografi kemudian kerap meminggirkan Pengging dengan melabelinya sebagai pusat mistik heterodoks atau sekadar prolog bagi kemunculan Pajang. Pembacaan yang lebih cermat justru memperlihatkan Pengging sebagai sisa hidup dunia Majapahit, tempat kosmologi Jawa pedalaman berhadapan langsung dengan upaya pembakuan Islam awal di Jawa.

Sri makurung

Hulu Bengawan Solo dan Jalur Kekuasaan Lama

Wilayah hulu Bengawan Solo sejak setidaknya abad ke-10 Masehi telah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi-politik Jawa. Integrasi ini bukan hasil ekspansi mendadak kerajaan besar, melainkan buah dari proses panjang pembentukan jaringan transportasi, perdagangan, dan kekuasaan yang mengikuti bentang alam sungai dan perbukitan Jawa bagian selatan.

Salah satu bukti tertulis terpenting mengenai peran strategis wilayah ini adalah Prasasti Panambangan bertarikh 903 M. Prasasti tersebut mencatat keberadaan panambangan, yaitu penyeberangan sungai menggunakan tambangan, yang secara terminologis menunjukkan fungsi Bengawan Solo sebagai jalur lintas regional. Dalam konteks ekonomi Jawa Kuno, tambangan bukan sekadar fasilitas teknis, melainkan simpul administrasi dan fiskal tempat berlangsungnya lalu lintas barang, manusia, dan kewenangan negara.

Secara geografis, lokasi Prasasti Panambangan dapat ditautkan dengan kawasan Wonogiri masa kini, sebuah wilayah peralihan antara dataran tinggi selatan Jawa Tengah dan jalur menuju Jawa Timur. Dari titik ini, jalur perdagangan menghubungkan wilayah pedalaman selatan dengan daerah-daerah timur seperti Madiun dan hulu Sungai Brantas, sekaligus membuka akses ke jaringan ekonomi yang lebih luas hingga pesisir utara Jawa Timur.

Jalur Bengawan Solo ini tidak hanya menopang peredaran hasil agraris seperti beras, palawija, kayu, dan hasil hutan, tetapi juga menjadi medium perpindahan manusia, penyebaran gagasan keagamaan, transmisi teknologi, serta mobilitas elite lokal. Sungai, dalam hal ini, berfungsi sebagai ruang sosial yang bergerak, tempat kekuasaan dibangun bukan melalui tembok batu, melainkan lewat penguasaan lintasan dan pembentukan loyalitas komunitas.

Berbeda dengan wilayah Mataram Kuno yang berkembang di sepanjang poros selatan (Opak–Progo) dan meninggalkan jejak monumental berupa candi-candi batu dan prasasti melimpah, kawasan Bengawan Solo lama relatif miskin bukti arkeologis berskala besar. Namun ketiadaan monumen bukanlah indikasi lemahnya kekuasaan.

Justru di sinilah karakter khas wilayah ini tampak: kekuasaan yang bekerja melalui jaringan tak tertulis—melalui tradisi lisan, silsilah bangsawan, legenda lokal, dan mitos asal-usul. Otoritas dibangun melalui hubungan genealogis dan spiritual, bukan semata-mata simbol material. Model ini memungkinkan kekuasaan bertahan lentur menghadapi perubahan politik, termasuk jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa.

Memasuki abad ke-14, kawasan Pajang, yang secara genealogis dan kultural kelak bertaut erat dengan Pengging, tercatat sebagai bagian dari tanah mahkota Majapahit. Nagarakretagama mencatat bahwa Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling wilayah kekuasaan, termasuk ke pedalaman Jawa Tengah. Meskipun tidak menyebutkan secara rinci lokasi Pajang atau Pengging, keberadaan wilayah ini dalam lingkup perjalanan raja menegaskan posisinya sebagai bagian dari struktur negara Majapahit.

Kesenyapan Nagarakretagama justru bersifat informatif. Pajang dan Pengging bukan pusat politik utama seperti Daha atau Trowulan, melainkan wilayah loyal dan strategis yang menopang Majapahit dari pedalaman agrarisnya. Wilayah ini berfungsi sebagai lumbung pangan, pemasok tenaga manusia, sekaligus penyangga stabilitas politik di Jawa bagian tengah.

Bengawan Solo

Pengging dalam Historiografi Sastra Jawa: Serat Witaradya

Nama Pengging memperoleh bobot historis baru dalam karya-karya sastra abad ke-19, khususnya Serat Witaradya dan Aji Pamasa karya R.Ng. Ranggawarsita. Sebagaimana dicatat dalam kajian filologis klasik, karya-karya ini tidak dapat diberi nilai historis faktual secara langsung. Namun demikian, serat-serat tersebut merekam cara orang Jawa memahami masa lalunya, termasuk konstruksi legitimasi politik dan genealogis.

Ranggawarsita, yang berasal dari keluarga Yasadipura, secara terbuka mengaitkan silsilah keluarganya dengan keturunan Sultan Pajang dan raja-raja Pengging. Dengan demikian, Pengging dalam Serat Witaradya tidak hanya berfungsi sebagai kerajaan masa lampau, tetapi sebagai simpul genealogi yang menghubungkan Majapahit, Pajang, dan Mataram Islam.

Dalam Serat Witaradya, asal-usul Pengging ditelusuri ke Keraton Mamênang (Kadhiri). Raja legendaris Sri Bathara Aji Jayabaya disebut sebagai figur awal, diikuti oleh Prabu Jaya Hamijaya dan Prabu Jayamisena. Pada masa Prabu Kusuma Wicitra, menurut tradisi sastra Jawa, terjadi bencana besar berupa banjir yang mendorong pemindahan pusat pemerintahan dari wilayah Kediri–Blitar ke kawasan Pengging (kini Boyolali), sebuah daerah strategis yang berada dalam lingkar sistem hulu Bengawan Solo.

Pemindahan ini bukan sekadar respons ekologis, tetapi momen politis. Pada tahun candrasangkala 953, Kusuma Wicitra mendirikan Kraton Pengging Witaradya, menandai kelahiran dinasti baru. Dari sinilah wilayah Pengging menjadi pusat kekuasaan baru yang memadukan warisan Kadhiri dengan struktur lokal pedalaman.

Dalam Serat Witaradya, pusat spiritual kisah ini adalah Tri Tingal, sebuah kawasan pertapaan para resi. Di tempat inilah Bangbang Sucitra menjalani laku tapa sebelum bertransformasi menjadi Sri Kiswara (Prabu Ajipamasa) dan kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Pengging dengan gelar Sri Kusuma Wicitra. Tri Tingal digambarkan sebagai sebuah mandala, ruang sakral tempat legitimasi politik dibentuk melalui laku batin.

Toponimi Tri Tingal muncul berulang dalam pupuh Sinom 77 dan 78, menegaskan fungsinya sebagai pusat pembentukan spiritual calon raja. Dalam tafsir lokal, Tri Tingal kerap dihubungkan dengan kawasan Wukir Endrakila, dan secara arkeologis diasosiasikan dengan situs di Dusun Centong, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar.

Para penerus Kusuma Wicitra, yakni Prabu Citrasoma, Prabu Anglingdriya, hingga Prabu Darmamaya, memerintah dalam lanskap politik yang kian dipengaruhi oleh kekuasaan Majapahit. Pada masa Prabu Madu Sumarma, Pengging akhirnya ditaklukkan oleh Majapahit, yang mengakibatkan terjadinya kekosongan takhta.

Ranggawarsita

Pengging sebagai Kadipaten dan Benteng Terakhir Majapahit

Setelah penaklukan, Brawijaya IV menunjuk Arya Pandaya III (Arya Bubaran) sebagai adipati Pengging, dinikahkan dengan putrinya, Retno Mundri. Sejak saat itu, Pengging bertransformasi dari kerajaan merdeka menjadi kadipaten bawahan Majapahit, namun tetap mempertahankan identitas genealogisnya.

Pada masa Brawijaya V, peran Pengging kembali menguat melalui pernikahan Retno Pembayun dengan Jaka Sengara, yang kemudian bergelar Adipati Handayaningrat. Dari garis inilah lahir tokoh-tokoh kunci: Raden Kebo Kanigoro, Raden Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging), dan Kebo Amiluhur.

Warisan Pengging tidak berakhir dengan kematian Ki Ageng Pengging. Putranya, Mas Karebet (Jaka Tingkir), naik menjadi Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang. Dari Pajang, garis keturunan ini berlanjut ke Mataram melalui relasi keluarga dengan Panembahan Senopati.

Dengan demikian, Pengging menjadi mata rantai genealogis utama antara Majapahit, Pajang, dan Mataram Islam, sebuah simpul sejarah yang jarang tampil dalam prasasti, tetapi dominan dalam struktur kekuasaan Jawa.

Kisah Pengging, baik dalam data epigrafis, struktur kekuasaan Majapahit, maupun Serat Witaradya, menunjukkan bahwa sejarah Jawa tidak selalu ditulis dengan batu dan prasasti. Sejarah itu kerap hidup dalam sungai, silsilah, pertapaan, dan tembang.

Pengging adalah contoh paling jelas tentang bagaimana kekuasaan Jawa bekerja: lentur, berlapis, spiritual, dan genealogis. Dari hulu Bengawan Solo hingga Mataram Islam, jejak Pengging membuktikan bahwa pusat sejarah Jawa sering kali justru berada di pinggiran yang sunyi.

Memasuki paruh akhir abad ke-15, ketika Majapahit mengalami erosi kekuasaan akibat konflik internal, disintegrasi elite, dan melemahnya kontrol pusat, wilayah pedalaman justru tampil sebagai ruang pertahanan terakhir dunia lama. Salah satu titik kunci pertahanan itu adalah Pengging, sebuah kadipaten strategis di jalur pedalaman Jawa Tengah yang berfungsi sebagai benteng ideologis, politik, sekaligus militer bagi sisa-sisa kedaulatan Majapahit.

Dalam tradisi tutur Jawa dan babad, Pengging dipimpin oleh seorang tokoh bernama Andayaningrat, yang juga dikenal sebagai Sri Makurung Prabu Andayaningrat, Jaka Sengara, Jaka Sangara, atau dalam lapisan simbolik disebut Jaka Bodo. Banyaknya nama ini bukan sekadar variasi legenda, melainkan penanda posisi Andayaningrat sebagai figur ambivalen yang berdiri di antara dunia lama Majapahit dan tatanan baru Jawa Islam yang sedang tumbuh.

Tradisi lisan menggambarkannya sebagai penakluk Blambangan dan Bali, seorang ksatria tangguh yang membawa misi pemulihan wibawa Majapahit di wilayah timur. Sementara unsur mitologis, seperti kisah asal usul “bajul” atau buaya dari Semanggi, harus dibaca sebagai simbol legitimasi kosmologis, bukan data harfiah. Dalam kosmologi Jawa, “bajul” melambangkan penjaga batas, makhluk liminal yang hidup di antara dua dunia. Dan memang, itulah posisi historis Andayaningrat, penjaga ambang peralihan zaman.

Semanggi yang disebut dalam tradisi tersebut merujuk pada kawasan yang kini dikenal sebagai Kelurahan Semanggi, salah satu dari 54 kelurahan di Kota Surakarta. Lokasinya berada persis di sebelah timur Keraton Surakarta, sebuah wilayah yang sejak lama berfungsi sebagai ruang peralihan antara pusat kekuasaan keraton dan dunia luar di sekitarnya.

Majapahit

Legitimasi Politik dan Hubungan dengan Majapahit

Di balik lapisan mitos tersebut, terdapat struktur politik yang nyata. Sejumlah sumber menyebut Andayaningrat memiliki hubungan kekerabatan dengan elite Majapahit, bahkan ditarik hingga jalur Patih Gajah Mada melalui tokoh Raden Juru dan Harya Pandaya. Narasi ini, meski harus diuji secara kritis, menunjukkan satu hal penting: Pengging bukan kerajaan liar atau pemberontak, melainkan delegasi kekuasaan pedalaman yang menerima mandat politik dari pusat Majapahit yang kian rapuh.

Pengangkatan Jaka Sengara sebagai Adipati Andayaningrat oleh Prabu Brawijaya V, setelah keberhasilannya membebaskan Putri Sekar Kedhaton dari Blambangan, menegaskan posisi tersebut. Sejak saat itu, Pengging berfungsi sebagai buffer state: wilayah penyangga yang melindungi Majapahit dari tekanan politik dan militer di timur dan utara Jawa.

Jejak material memperkuat pembacaan ini. Situs situs di lereng Merapi yang diidentifikasi sebagai bekas kedudukan elite Pengging, serta kompleks Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng Lawu yang jelas bercorak akhir Majapahit, menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan ruang sakral politik dinasti lama hingga menjelang abad ke-16. Pengging bukan pinggiran; ia adalah sisa jantung yang masih berdetak.

Situasi berubah drastis setelah wafatnya Sunan Ampel, tokoh kunci yang selama hidupnya berperan sebagai penyeimbang antara Demak dan Majapahit. Ketegangan yang semula tertahan akhirnya meledak. Kelompok santri militan yang tergabung dalam pasukan Suranata, dengan semangat dakwah dan ekspansi politik, memutuskan bergerak ke jantung Majapahit.

Serangan pertama dapat dipukul mundur. Namun serangan kedua, yang dipimpin langsung oleh Sunan Ngudung, Imam Masjid Demak, menjadi titik balik. Sunan Ngudung tampil bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi sebagai panglima perang, mengenakan Jubah Antakusuma, pusaka simbolik yang dalam tradisi Jawa melambangkan otoritas religius dan legitimasi moral.

Di pihak Majapahit, barisan pertahanan terakhir dihimpun. Adipati Terung Raden Kusen, Prabu Andayaningrat dari Pengging, dan Arya Gugur, putra mahkota Majapahit, berdiri dalam satu barisan. Yang menarik dan sering disederhanakan dalam narasi populer adalah kenyataan bahwa beberapa tokoh kunci Majapahit ini telah memeluk Islam, namun tetap setia pada tatanan politik Majapahit. Hal ini menegaskan bahwa konflik tersebut bukan perang agama, melainkan perang legitimasi dan kedaulatan.

Pertempuran berlangsung sengit dan berlarut hingga malam. Dalam kekacauan medan laga, Prabu Andayaningrat kehilangan putranya, Kebo Kenanga, yang mundur dari medan perang, sebuah episode yang dalam tradisi Jawa dibaca sebagai konflik batin antara kesetiaan kepada ayah, negara, dan jalan hidup yang dipilihnya.

Dalam amarah dan kesedihan, Andayaningrat maju ke garis depan. Pertarungannya dengan Sunan Ngudung menjadi duel simbolik dua dunia. Dalam pertempuran itu, Prabu Andayaningrat gugur, terkena tombak di dada, jatuh dari kudanya, dan kepalanya dipenggal. Gugurnya raja Pengging menandai runtuhnya benteng terakhir Majapahit di pedalaman.

Namun perang belum selesai. Sunan Ngudung kemudian menantang Adipati Terung. Duel keduanya berakhir tragis bagi Demak: Sunan Ngudung tewas setelah tertombak dan jatuh dari kudanya. Jenazahnya dibawa kembali ke Demak, disambut duka dan kemarahan yang mendidih.

Kematian dua tokoh utama ini tidak menghentikan konflik. Kepemimpinan pasukan Demak beralih ke Raden Jakfar Shadiq (Sunan Kudus). Dengan dukungan pusaka-pusaka simbolik dari jaringan wali dan elite pesisir, serangan berikutnya menghancurkan sisa-sisa pertahanan Majapahit hingga ke Sengguruh. Di titik inilah Majapahit benar-benar runtuh sebagai entitas politik.

Pengging, dengan demikian, bukan sekadar latar asal usul Pajang. Ia adalah medan terakhir perlawanan Majapahit, tempat kesetiaan lama diuji hingga darah terakhir. Gugurnya Andayaningrat bukan kisah kekalahan semata, melainkan penutup sebuah zaman, ketika dunia lama Jawa tidak tumbang oleh kemerosotan internal saja, tetapi juga oleh benturan sejarah yang tak terelakkan.

Perang Majapahit

Bobodo, Semanggi, dan Ingatan Sungai

Nama lama wilayah Pengging, Bobodo, muncul dalam naskah Sunda abad ke-15 Bujangga Manik. Peziarah Hindu itu mencatat lintasan tambangan Bengawan Solo di daerah Semanggi, nama yang juga hadir dalam legenda Pengging sebagai pusat kekuasaan ayah Jaka Sangara, sang “raja buaya”.

Korelasi antara teks Sunda, legenda Jawa, dan geografi sungai menunjukkan satu pola penting: ingatan kolektif Jawa pedalaman terikat pada sungai, bukan kota bertembok. Bengawan Solo, sebelum dinamai demikian pada abad ke-18, dikenal sebagai Sungai Semanggi, sebuah identitas yang jauh lebih tua daripada Surakarta.

Majapahit

Islam, Mistik, dan Ketegangan Ideologis

Masuknya Islam ke Jawa pedalaman tidak berlangsung sebagai proses konversi tunggal, lurus, dan seragam. Ia bukan peristiwa sekali jadi, melainkan transformasi berlapis yang melibatkan perubahan kosmologi, etika kekuasaan, serta cara manusia Jawa memahami hubungan antara dirinya, alam, dan Tuhan. 

Di Pengging, sebuah pusat lama warisan Majapahit di pedalaman Jawa Tengah, Islam mula mula hadir bukan dalam bentuk syariat formal yang kaku, melainkan sebagai mistik kebatinan, suluk, dan laku batin yang selaras dengan tradisi spiritual Jawa.

Tokoh kunci fase awal ini adalah Raden Kebo Kenanga dan saudaranya Raden Kebo Kanigara, dua putra Prabu Andayaningrat, penguasa terakhir Kadipaten Pengging. Keduanya tumbuh dalam pusaran besar transisi sejarah: runtuhnya Majapahit, bangkitnya kekuatan Islam pesisir, dan pergeseran pusat legitimasi dari istana Hindu-Buddha ke kesultanan Islam.

Perjalanan spiritual kedua pangeran Pengging ini tidak dapat dilepaskan dari figur Ratu Dwarawati atau Putri Champa, permaisuri Prabu Brawijaya V atau Sri Prabu Kertawijaya. Setelah wafatnya Retno Pembayun, ibunda Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara, kedua anak yatim ini diangkat dan diasuh langsung di pusat Majapahit oleh kakek mereka. Namun yang memberi warna paling menentukan bukanlah Prabu Brawijaya semata, melainkan Ratu Dwarawati.

Sebagai perempuan Muslim asal Champa, Ratu Dwarawati memainkan peran yang jarang disorot dalam historiografi Jawa: pendidik akidah, pembentuk watak, dan jembatan kultural antara dunia lama Majapahit dan Islam yang sedang tumbuh. Di bawah asuhannya, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara tidak hanya dididik sebagai bangsawan, tetapi juga diperkenalkan pada Islam sebagai laku hidup, bukan sekadar simbol politik.

Lingkungan tempat mereka tumbuh adalah lingkungan kosmopolitan Majapahit akhir: istana yang masih bernafaskan Hindu-Buddha, namun terbuka terhadap Islam. Di sekeliling mereka hidup tokoh-tokoh yang kelak menjadi pilar Islamisasi Jawa: Raden Rahmat (Sunan Ampel), Sunan Bonang, Arya Damar, Bhattara Katong, Arya Lembu Peteng, hingga Raden Patah. Di sinilah Islam masuk ke darah biru, bukan melalui penaklukan, melainkan melalui pendidikan dan pengasuhan.

Baca Juga : Tasya Juara Dangdut Academy 7, Valen Tempati Posisi Runner-up

Setelah wafatnya Prabu Andayaningrat dan menurunnya status Pengging dari kerajaan menjadi kadipaten, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara memilih kembali ke tanah leluhur mereka. Namun mereka tidak kembali sebagai penguasa yang menuntut tahta. Sebaliknya, keduanya justru meninggalkan logika kekuasaan yang sedang dikonsolidasikan Demak.

Raden Kebo Kanigara memilih jalan asketis ekstrem. Ia mengasingkan diri ke Gunung Merapi, menjalani hidup sebagai ajar, guru spiritual yang hidup dekat dengan alam dan menjauh dari struktur politik. Tradisi babad dan lisan mencatat kematiannya sebagai puncak laku, bertapa hingga wafat dalam kobaran api kawah gunung. Dalam kosmologi Jawa, kematian semacam ini bukan tragedi, melainkan simbol penyatuan diri dengan kekuatan ilahi dan alam semesta.

Sementara itu, Raden Kebo Kenanga mengambil jalan berbeda. Ia menetap di Pengging, hidup sebagai petani dan santri, dan kelak dikenal sebagai Ki Ageng Pengging. Ia menanggalkan gelar kebangsawanan, namun tidak kehilangan wibawa. Babad Jaka Tingkir mencatat ribuan pengikut tersebar di Pengging dan Pajang, meskipun hanya ratusan yang sanggup mengikuti laku asketiknya secara penuh. Rakyat memandangnya sebagai raja tanpa istana, seorang pemimpin moral yang memerintah dengan teladan, bukan titah.

Jaka Tingkir

Syekh Siti Jenar dan Ajaran Immanensi Ilahi

Transformasi Pengging mencapai titik krusial ketika Syekh Siti Jenar, yang dikenal pula sebagai Syekh Lemah Abang, Syekh Sunyata Jatimurti, atau Syekh Walilanang, bermukim dan mengajar di sana. Dalam banyak sumber, Siti Jenar digambarkan sebagai figur sufi radikal yang menekankan dimensi hakikat dan makrifat, terutama ajaran manunggaling kawula gusti, kesatuan eksistensial antara manusia dan Tuhan.

Ajaran ini menemukan resonansi mendalam di Pengging. Masyarakat pedalaman Jawa telah lama mengenal kosmologi kesatuan manusia–alam–ilahi. Islam, dalam tafsir Siti Jenar, tidak datang untuk memutus kosmologi itu, melainkan mengisinya dengan bahasa tauhid. Ki Ageng Pengging menerima ajaran ini secara utuh dan menjadikannya laku hidup, bukan retorika.

Dalam perspektif politik Demak, inilah titik rawan. Pengging tidak lagi sekadar bekas kadipaten, melainkan simpul ideologis alternatif: Islam yang tumbuh di luar kendali istana, berakar pada spiritualitas rakyat, dan dipimpin oleh figur karismatik berdarah Majapahit.

Di sinilah Pengging mengalami metamorfosis sejarah. Ia berhenti menjadi kerajaan politik, tetapi justru menjelma menjadi ruang perlawanan ideologis. Bukan perlawanan bersenjata, melainkan perlawanan tafsir: tentang apa itu Islam, tentang relasi kekuasaan dan kesalehan, serta tentang siapa yang berhak menentukan kebenaran.

Kekhawatiran Demak memuncak pada masa Sultan Trenggana. Sunan Kudus, ulama fikih yang dikenal tegas dalam menjaga ortodoksi, diutus untuk memeriksa Ki Ageng Pengging. Debat terbuka pun terjadi. Tuduhan bahwa Ki Ageng menyebarkan ajaran menyimpang dan berpotensi membangun kekuatan tandingan tidak pernah sepenuhnya terbukti secara politik. Namun dalam logika negara yang sedang membangun sentralisasi, independensi spiritual kerap dipandang sebagai ancaman.

Eksekusi Ki Ageng Pengging pun terjadi. Dalam versi populer babad, ia meminta Sunan Kudus sendiri yang mengakhiri hidupnya. Ia wafat dalam keadaan duduk, tenang, tanpa perlawanan, sebuah kematian yang dalam tradisi Jawa dibaca sebagai kemenangan batin atas kekerasan duniawi.

Peristiwa ini, yang diperkirakan terjadi pada awal dasawarsa 1540-an, menandai runtuhnya Kerajaan Pengging. Sejak itu, tidak ada lagi penguasa berdaulat di wilayah tersebut. 

Siti Jenar

Kekalahan Pengging: Pemusnahan Jaringan, Bukan Sekadar Wilayah

Pengging tidak pernah berdiri sebagai entitas tunggal. Dalam tradisi babad Jawa, ia tergabung dalam sebuah aliansi spiritual yang dikenal sebagai Empat Serangkai Suci, sebuah jaringan rohani politik yang terdiri atas Pengging, Tingkir, Ngerang, dan Butuh. Keempat wilayah ini dipimpin oleh tokoh tokoh yang memiliki satu kesamaan mendasar, mereka terhubung melalui jejaring murid Syekh Siti Jenar, atau lebih tepatnya melalui tradisi tasawuf wujudiyah yang berkembang di pedalaman Jawa pasca Majapahit.

Jaringan Empat Serangkai Suci ini mencerminkan bentuk solidaritas kekuasaan khas Jawa pedalaman yang berbeda secara fundamental dari model kekuasaan pesisir. Jika kekuasaan pesisir, seperti Demak, bertumpu pada konsolidasi politik, legitimasi syariat formal, dan struktur hierarkis yang ketat, maka kekuasaan pedalaman berakar pada kharisma spiritual, ikatan guru murid, dan legitimasi batin. Dalam kerangka ini, otoritas tidak diturunkan semata mata melalui tahta, melainkan melalui laku, kesalehan personal, dan pengakuan masyarakat.

Penguasa Pengging, Tingkir, Ngerang, dan Butuh bukan sekadar raja atau adipati dalam arti administratif. Mereka adalah figur guru, pemimpin rohani yang membimbing masyarakat dalam praktik keislaman yang bercorak sufistik, imanen, dan menyatu dengan kosmologi Jawa. Islam yang mereka ajarkan bukan Islam istana, melainkan Islam laku—yang menekankan pengendalian diri, kesederhanaan, dan pencarian hakikat.

Dalam konteks inilah Pengging menempati posisi sentral. Di bawah kepemimpinan Ki Ageng Pengging (Raden Kebo Kenanga), wilayah ini menjadi simpul paling berpengaruh dalam jaringan Empat Serangkai. Pengging bukan hanya pusat pengajaran spiritual, tetapi juga ruang artikulasi alternatif terhadap proyek Islamisasi politik Demak. Dari sini lahir bentuk perlawanan yang tidak mengambil rupa pemberontakan bersenjata, melainkan resistensi kultural dan epistemologis.

Kekalahan Pengging dalam sejarah tidak dapat dipahami sebagai runtuhnya satu kerajaan kecil di pedalaman. Ia adalah pemusnahan sistematis terhadap satu jaringan spiritual yang dianggap mengancam konsolidasi kekuasaan Islam ortodoks di Jawa. Ketika Ki Ageng Pengging dieksekusi, yang dihancurkan bukan hanya seorang tokoh, melainkan simpul utama dari jejaring Empat Serangkai Suci.

Demikian pula dengan narasi eksekusi Syekh Siti Jenar. Dalam historiografi populer, terutama versi Babad Tanah Jawi, ia digambarkan dihukum mati oleh Wali Songo karena ajaran yang dianggap menyimpang. Namun pembacaan kritis terhadap sumber sumber primer seperti Carita Purwaka Caruban Nagari, Serat Niti Mani, serta tradisi lokal Cirebon dan Pengging menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks.

Data historis mengindikasikan bahwa tokoh yang dieksekusi bukanlah Syekh Siti Jenar yang asli, melainkan dua figur lain, Hasan Ali dan San Ali Anshar, yang memanfaatkan nama dan reputasi Siti Jenar untuk menyebarkan ajaran pseudo mistik yang bercampur dengan praktik perdukunan dan ambisi politik.Eksekusi terhadap mereka kemudian direduksi dan dipropagandakan sebagai “hukuman mati Syekh Siti Jenar”, sebuah langkah simbolik yang efektif untuk membunuh pengaruh intelektual dan spiritualnya, tanpa harus berhadapan langsung dengan ajaran aslinya.

Dalam kerangka ini, kematian Siti Jenar lebih tepat disebut sebagai pembunuhan nama, bukan pembunuhan fisik. Nama Siti Jenar dijadikan simbol ajaran yang “harus disingkirkan”, sementara tokoh aslinya justru wafat secara wajar dan dimakamkan tanpa penanda, sesuai dengan etos sufistik yang menolak kultus individu.

Setelah Pengging dan jaringan Empat Serangkai Suci dipatahkan, mistik Jawa tidak lenyap. Ia tidak musnah oleh pedang atau fatwa. Yang terjadi adalah proses peminggiran dan sublimasi. Ajaran-ajaran tasawuf wujudiyah, konsep manunggaling kawula-Gusti, dan etika spiritual pedalaman tidak lagi tampil sebagai wacana politik terbuka, tetapi ditarik ke ruang-ruang sunyi: suluk, tembang, tradisi lisan, tirakat pribadi, dan laku kebatinan rakyat.

Di sinilah ironi sejarah bekerja. Kekuasaan Demak berhasil menundukkan jaringan politik Pengging, tetapi gagal mematikan ruh ajarannya. Mistik Jawa justru bertahan dalam bentuk yang lebih lentur dan tahan lama, meresap ke dalam budaya rakyat, praktik keagamaan sehari hari, dan kosmologi Jawa Islam yang bertahan hingga kini.

Dengan demikian, kekalahan Pengging bukanlah akhir, melainkan transformasi. Ia menandai pergeseran dari mistik sebagai kekuatan politik menjadi mistik sebagai ingatan kolektif dan etika batin. Dalam perspektif ini, Pengging layak dibaca bukan sebagai kerajaan kalah, tetapi sebagai laboratorium sejarah tempat kita dapat melihat bagaimana kekuasaan, agama, dan spiritualitas saling bertarung, bernegosiasi, dan akhirnya membentuk wajah Islam Jawa yang khas.

Pengging, Tingkir, Ngerang, dan Butuh melalui jaringan Empat Serangkai Suci menegaskan bahwa sejarah Jawa tidak hanya digerakkan oleh istana dan perang, tetapi juga oleh guru, murid, dan laku sunyi. Dan justru dari ruang ruang yang disenyapkan itulah, warisan paling tahan lama sering kali lahir.

Tri Tingal

Dari Pengging ke Pajang

Kehancuran Pengging tidak menutup riwayat wangsa itu. Justru dari puing puing politik dan spiritualnya lahir sebuah kelanjutan dinasti yang jauh lebih besar. Mas Karèbèt, putra Raden Kebo Kenanga, penguasa terakhir Pengging, tidak ikut tumbang bersama ayahnya. Ia selamat sebagai anak kecil, namun hidupnya ditandai trauma sejarah: Pengging dihancurkan, ayahnya tewas oleh ekspedisi Demak, dan ibunya wafat tak lama kemudian. Dari tragedi inilah kelak lahir tokoh yang dikenal sebagai Jaka Tingkir, atau Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang.

Dalam arti tertentu, Pajang berdiri di atas reruntuhan Pengging. Ia mewarisi darah, legitimasi genealogis, dan memori politiknya, tetapi secara sadar menanggalkan warisan mistik dan kosmologi lama yang dahulu melekat pada Pengging. Transformasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi sejarah. Jaka Tingkir tidak membangun kerajaan baru dengan menoleh ke belakang, tetapi dengan menyerap unsur unsur lama yang kompatibel dan membuang yang dianggap menghambat konsolidasi kekuasaan Islam pedalaman.

Babad Tanah Jawi, khususnya pupuh Sekar Asmaradana ke-40, mencatat momen krusial legitimasi ini melalui kisah turunnya Wahyu Keprabon kepada Jaka Tingkir. Digambarkan sebagai cahaya langit menyerupai andaru yang menyelinap ke dalam tubuhnya, peristiwa ini menandai peralihan pulung kekuasaan dari Demak kepada sosok yang berasal dari Pengging. 

Bagi pujangga Jawa, kisah ini bukan sekadar alegori spiritual, melainkan penjelasan kosmologis atas perpindahan pusat kekuasaan Jawa, dari pesisir ke pedalaman, dari Demak ke Pajang.

Mas Karèbèt lahir pada 18 Jumadilakhir tahun Dal, pada masa Jawa berada dalam fase transisi pasca-Majapahit. Ia adalah anak Raden Kebo Kenanga, bangsawan Pengging yang menautkan dirinya pada trah Majapahit melalui pernikahan dengan perempuan berdarah istana. Namun status darah biru itu tidak menjamin keselamatan. Ketika Demak menaklukkan Pengging, Kebo Kenanga tewas, dan anaknya tumbuh sebagai yatim piatu. Ia diasuh Nyai Ageng Tingkir dan menjalani laku panjang sebagai pengembara spiritual, berguru pada Ki Ageng Selo, Sunan Kalijaga, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Butuh, hingga Ki Buyut Banyubiru. Dari jaringan guru inilah Jaka Tingkir menyerap sintesis khas Jawa: etika ksatria, spiritualitas Islam, dan kebijaksanaan politik.

Langkahnya menuju kekuasaan dimulai dari bawah. Ia masuk istana Demak sebagai prajurit biasa, naik menjadi Lurah Wira Tamtama, lalu pengawal pribadi Sultan Trenggana. Kesetiaan dan kecakapannya mengantarkannya menjadi Adipati Pajang, bahkan dipersuntingkan dengan Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana. Pernikahan ini bukan hanya ikatan keluarga, melainkan pengukuhan politik yang menjembatani darah Pengging dengan legitimasi Demak.

Wafatnya Sultan Trenggana dalam ekspedisi Panarukan tahun 1546 memicu krisis suksesi. Demak terpecah antara faksi pesisir dan elite pedalaman. Dalam situasi inilah Jaka Tingkir tampil sebagai figur kompromi yang kuat. 

Dengan dukungan para wali, terutama Sunan Kalijaga dan Sunan Giri Prapen, ia diangkat sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Pusat kekuasaan pun dipindahkan dari pesisir utara ke pedalaman Jawa Tengah, sebuah pergeseran geopolitik besar dalam sejarah Jawa.

Sumber Eropa memperkuat gambaran ini. Diego de Couto dalam Da Asia mencatat bahwa raja Pajang memerintah dari pedalaman sekitar 30 legua dari pantai dan berfungsi sebagai “Emperador destes”—kaisar atas kerajaan-kerajaan Jawa lainnya. Catatan Francis Drake (1580) menyebut seluruh Jawa berada di bawah satu raja agung. Meski tidak menyebut Pajang secara eksplisit, kronologi menunjukkan bahwa hanya Sultan Hadiwijaya yang memenuhi deskripsi tersebut pada masanya.

Namun struktur kekuasaan Pajang bersifat federatif. Demak, Jepara, Tuban, dan Surabaya masih mempertahankan otonomi tertentu. Ratu Jepara, misalnya, secara mandiri memimpin ekspedisi ke Malaka pada 1574. Fakta ini menunjukkan bahwa Pajang bukan negara sentralistik mutlak, melainkan hegemoni pedalaman yang bertumpu pada patronase politik dan pernikahan strategis. Tujuh anak Sultan Hadiwijaya dinikahkan dengan elite pesisir untuk mengikat loyalitas wilayah-wilayah kunci.

Konsolidasi kekuasaan Pajang mencapai puncaknya setelah kekalahan Arya Penangsang, adipati Jipang dan pewaris faksi Demak pesisir. Tradisi babad menggambarkan konflik ini sebagai duel heroik, tetapi arsip kolonial Belanda mengungkapnya sebagai ekspedisi militer terorganisasi ke wilayah sekitar Bengawan Solo. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi menjadi aktor penting, dan sebagai imbalan, Pamanahan dianugerahi tanah Mataram, sebuah keputusan yang kelak berbalik menjadi bumerang bagi Pajang.

Sultan Hadiwijaya memerintah selama lebih dari tiga dekade. Ia membangun struktur pemerintahan, diplomasi regional, dan stabilitas politik pasca-Demak. Namun di akhir hayatnya, Pajang mulai diguncang konflik internal dan ambisi elite. Setelah wafatnya sekitar tahun 1590-an dan naiknya Adipati Benawa, dinasti ini hanya bertahan singkat. Pajang meredup, tetapi warisannya justru menemukan kelanjutannya di Mataram.

Melalui pernikahan politik antara keturunan Pajang dan wangsa Mataram, garis kekuasaan Jawa tidak hanya berlanjut, tetapi dipadatkan kembali dalam satu trah besar. Dari pertemuan dua garis inilah lahir Sultan Agung Hanyakrakusuma (berkuasa 1613–1645), penguasa terbesar Jawa abad ke-17.
Sultan Agung adalah cicit langsung Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Rantai nasab itu dapat ditelusuri secara jelas. Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang, memiliki putra bernama Pangeran Benawa, yang sempat naik takhta Pajang meski hanya singkat. Dari Benawa lahir Ratu Mas Hadi (dalam beberapa sumber disebut Ratu Mas Adi Dyah Banowati), yang kemudian dinikahkan secara strategis dengan Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram sekaligus putra Panembahan Senapati (Sutawijaya), pendiri Mataram.

Dari perkawinan inilah lahir Raden Mas Rangsang, yang kelak naik takhta sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma. Dengan demikian, Sultan Agung bukan hanya pewaris Mataram, tetapi juga pengikat darah Pajang, dan lebih jauh lagi, cucu ideologis Pengging.

Dalam perspektif ini, Pengging bukan prolog yang gagal, melainkan akar yang disangkal namun menentukan. Pajang bukan sekadar jembatan singkat, melainkan poros sejarah tempat darah lama, iman baru, dan ambisi kekuasaan Jawa bertemu dan membentuk arah sejarah selanjutnya.

Jaka Tingkir

Catatan Akhir: Runtuh Tapi Tidak Kalah

Pengging runtuh bukan karena kalah dalam satu perang besar yang menentukan, melainkan karena tidak lagi sejalan dengan rezim ideologis baru yang tengah membentuk ulang tata kekuasaan Jawa abad ke-16. Ia dikalahkan oleh perubahan definisi iman, oleh tafsir kebenaran yang dilembagakan, dan oleh politik legitimasi yang menuntut penyeragaman. Dalam lanskap kekuasaan yang semakin terstruktur oleh ortodoksi dan hierarki baru, Pengging menjadi ruang yang sulit dijinakkan tanpa terlebih dahulu dinegasikan.

Namun runtuhnya Pengging sebagai kerajaan tidak pernah berarti hilangnya Pengging sebagai ruang kekuasaan. 

Justru di sinilah letak ironi sejarahnya. Wilayah inti Kesultanan Pajang, pedalaman yang kini mencakup Boyolali, Kartasura, hingga Surakarta, pada hakikatnya adalah wilayah lama Pengging. Pajang tidak menaklukkan ruang baru; ia mewarisi dan mengaktifkan kembali jantung pedalaman yang sejak masa akhir Majapahit telah menjadi pusat spiritual, agraris, dan genealogis Jawa.

Dengan kata lain, Pajang berdiri bukan di atas kehampaan, melainkan di atas tanah ingatan Pengging. Struktur sosialnya, basis demografinya, bahkan legitimasi simboliknya berakar pada dunia lama yang secara politik dinyatakan runtuh, tetapi secara kultural tetap bekerja. Karena itu, ketika para pengamat asing seperti Francis Drake dan Diego de Couto menggambarkan Pajang sebagai kekuatan pedalaman yang bertindak layaknya “kaisar atas para raja Jawa”, yang sesungguhnya mereka saksikan adalah kebangkitan kembali hegemoni pedalaman lama dalam rupa baru.

Dalam konteks ini, Pengging tidak lenyap; ia bermetamorfosis. Unsur-unsur mistik Jawa yang dahulu dilekatkan pada Pengging tidak sepenuhnya dihapus, melainkan disaring, dijinakkan, dan disalurkan ke dalam struktur batin kekuasaan baru. Ia hidup dalam simbol, dalam laku spiritual elite, dan dalam konsepsi kejawaan yang kelak mencapai bentuk paling matang pada masa Mataram. Pengging tetap hadir dalam kisah kisah rakyat, dalam praktik mistik Jawa, dan dalam cara kekuasaan pedalaman memaknai dirinya, sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya lahir dari pesisir dan tidak sepenuhnya tunduk pada formalisme.

Sejarah Pengging, karena itu, adalah sejarah tentang peralihan zaman yang keras dan penuh ketegangan, ketika genealogi Majapahit, kosmologi Jawa, dan Islam awal bertemu dalam satu ruang pedalaman yang sama. Ia memperlihatkan bahwa transformasi besar di Jawa tidak pernah berlangsung sebagai pemutusan total, melainkan sebagai pergeseran lapisan: yang lama ditekan di permukaan, tetapi terus bekerja di bawahnya.

Di hulu Bengawan Solo, sebuah kerajaan memang telah runtuh sebagai entitas politik. Istana menghilang, gelar memudar, dan namanya tersingkir dari kronik resmi. Namun wilayahnya tetap menjadi pusat, darahnya terus mengalir dalam dinasti dinasti sesudahnya, dan ingatannya bersemayam dalam struktur terdalam kekuasaan Jawa. Pertanyaan pertanyaan yang ditinggalkan Pengging tentang hubungan antara iman dan kekuasaan, antara tradisi dan legitimasi, antara pedalaman dan pusat tidak pernah benar benar selesai dijawab.

Seperti Bengawan Solo yang mengalir melintasi pergantian zaman dan rezim, Pengging tidak berhenti di titik runtuhnya. Ia terus mengalir, berubah rupa, namun tetap menjadi arus bawah yang membentuk sejarah Jawa dari Pajang hingga Mataram, dan mungkin hingga hari ini.