free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Surabaya 1677: Diplomasi Mabuk Trunajaya dengan VOC

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

21 - Sep - 2025, 15:01

Placeholder
Lukisan bergaya realis menggambarkan Raden Trunajaya dalam Perang Jawa 1677. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada suatu malam di bulan April 1677, di jantung Surabaya yang lembab, Laksamana Cornelis Speelman melemparkan pandangan sinis ke bentangan sungai Kali Mas. Dari geladak armadanya yang membuang sauh di Selat Barat, ia menyaksikan percikan obor di tepi istana Raden Trunajaya

Negosiasi perdamaian yang semestinya meneguhkan kembali kekuasaan Mataram, justru terjebak dalam pusaran mabuk, tipu daya, dan dendam sejarah yang kian meremukkan sendi Kerajaan Jawa.

Baca Juga : Ramalan Bintang 21 September 2025: Peruntungan 12 Zodiak, dari Aries hingga Pisces

Babak antara April hingga Mei 1677 menjadi simpul rapuh yang menandai kegagalan diplomasi di Jawa bagian timur. Trunajaya, bangsawan Madura yang membakar Mataram dengan api pemberontakan, berhadapan dengan mesin kolonial VOC di bawah Speelman yang menuntut pengakuan kedaulatan Sultan Mataram. 

Namun di meja perundingan, tidak hanya kata-kata yang hadir. Terselip di antara cawan arak dan bendera putih, ada kepungan meriam, garis kubu, serta kerumunan rakyat yang diseret pusaran perang, spiritualitas, dan dendam feodal.

Jejak Trunajaya: Pemberontak, Bangsawan, dan Pewaris Trauma

Untuk memahami drama Surabaya 1677, kita mesti menoleh sejenak pada sosok Raden Trunajaya. Ia bukan sekadar pemberontak. Trunajaya adalah bangsawan Madura keturunan Arya Damar, bergelar Panembahan Maduretna. 

Dalam konteks politik Jawa abad ke-17, Madura adalah simpul penghubung lintas jalur rempah, pelabuhan, dan armada bajak laut. Sejak pertengahan 1670-an, Trunajaya menjadi simbol frustrasi para bupati pesisir yang muak pada absolutisme Keraton Mataram di bawah Amangkurat I.

Persekutuan dengan bangsawan pesisir, eksil Makassar, dan pengikut spiritual Raden Kajoran membentuk pola perlawanan bercorak kejawen militan. Di balik jubah pemberontakan itu, berdenyut dendam klan-klan yang pernah tersingkir dari Mataram. Ideologi spiritual yang dibawa Kajoran, yaitu keyakinan bahwa Sunan Amangkurat I telah menyimpang dari wahyu kerajaan, menjadi justifikasi moral untuk melawan. 

Amangkurat I

Kedatangan Speelman: Armada di Selat Barat

VOC yang terjepit oleh jatuhnya pusat-pusat pesisir ke tangan Trunajaya, harus bergerak cepat. Pada 9 April 1677, armada Belanda di bawah Speelman membuang sauh di perairan Selat Barat Surabaya. Catatan Daghregister menyebut Speelman telah lama mengamati pola perlawanan Trunajaya. Maka ia lebih memilih jalur diplomasi terlebih dahulu, sembari menyiapkan ultimatum.

Sebagai langkah awal, Speelman mengutus Jacob Couper, seorang perwira berpengalaman, untuk menembus pagar istana Trunajaya. Dari catatan harian tertanggal 14 April 1677, Couper melukiskan suasana Surabaya: istana batu, benteng primitif bertumpu pada batang kelapa, dan kubu-kubu yang dirancang sekenanya, dipenuhi ranjau bambu runcing (sungga rencong).

Sunan Surakarta

Pertemuan Pertama: Mabuk dan Keraguan

Di istana, Couper mendapati Trunajaya duduk setengah sadar, diapit para wanita tua. Panembahan Maduretna itu tampak limbung di balik keagungan pakaiannya dengan giwang emas bertabur intan, dodot sutra, serta dada telanjang berkuluk putih. Sumber Belanda menyebutkan, dari sorot mata yang kerap berubah antara cerah dan muram, Trunajaya sedang dilanda tekanan berat. Ia menenggak beberapa gelas arak sambil tertawa, lalu melontarkan pidato kosong tentang persaudaraan dengan Tuan Laksamana.

Diplomasi pertama berakhir sebagai pesta minuman. Hadiah bertukar, tetapi tak ada satu pun janji terucap. Couper terpaksa mundur ke armada, melapor pada Speelman bahwa “Panembahan Maduretna terlalu ragu, mabuk, dan licik” (Opkomst jil. VII, hlm. 115).

Trunojoyo

Jaring Persekutuan yang Membusuk

Dalam periode ini, Surabaya menjelma simpul terakhir perlawanan Trunajaya. Dari kubu-kubu batu di barat Kali Mas hingga parit di Ampel, ia merancang pertahanan di tengah desas-desus bahwa separuh Mataram telah hancur oleh perang saudara. Rangga Wanengpati, utusan dari Mataram, mengabarkan bahwa pasukan Trunajaya membumihanguskan ibukota, memaksa Sunan Amangkurat I bersekutu dengan VOC.

Trunajaya pun menggantungkan kepercayaan pada dukungan Makassar. Namun Speelman lihai: ia menekan dengan ancaman akan berunding dengan Makassar jika Trunajaya terus berkelit. Tercatat pada 22 April 1677, Trunajaya memohon penundaan perutusan VOC ke Makassar agar ia bisa mempertahankan posisinya di Madura (Daghregister, 14 Mei 1677).

Trunajaya - Galesong

Ultimatum yang Diabaikan

Speelman yang semakin jengah akhirnya mengirimkan ultimatum. Pada 24 April 1677 ia merapat ke daratan Kamal, Madura, dan menuntut Trunajaya hadir dalam dua kali 24 jam untuk menegaskan pengakuan pada Sunan Amangkurat I sebagai gusti sah. Namun Trunajaya tetap berkelit. Jawaban hanya datang dalam bentuk surat maaf yang ambigu, disampaikan melalui abdi setianya, Kiai Litawangsa.

Dalam surat itu, Trunajaya bersumpah akan tunduk pada Sunan, namun di lapangan, kubu-kubu pertahanan justru diperkuat. Di tepi sungai Ampel, meriam dipasang, lubang-lubang bedil dibuka. Diplomasi berubah menjadi siasat tarik ulur sambil menyiapkan senjata.

Galesong

Benteng-Benteng Surabaya: Tembok Batu dan Sungga Rencong

Catatan Kompeni (K.A. No. 1218) merekam struktur kubu Surabaya. Di sebelah barat Kali Mas, kota istana lama diperkuat benteng persegi dari batu yang menopang meriam dan pagar ranjau bambu. Sementara di sebelah timur Kali Mas, tepatnya di Ampel dan muara Pegirian, Trunajaya membangun kubu pertahanan baru meski lebih rapuh. Celah inilah yang kelak dimanfaatkan Speelman untuk masuk. 

Di balik benteng, rakyat pesisir Surabaya, kaum petani dan nelayan, diseret menjadi kuli benteng. Di sinilah ideologi perlawanan dan spiritualitas kejawen bersetubuh dengan teror feodal. Bagi mereka, Trunajaya bukan sekadar bangsawan Madura, tetapi sosok penebus dendam lama terhadap Amangkurat I yang menindas desa-desa pesisir.

Trunajaya

Pendudukan Ampel: Awal Jatuhnya Surabaya

Pada 2 Mei 1677, Speelman melaksanakan rencana pendaratan di muara Sungai Ampel. Meski Trunajaya menempatkan tiga pucuk meriam di sana, ia enggan mengibarkan bendera perang. Di kejauhan, Speelman menyaksikan Trunajaya berjalan di antara pasukan, menolak ajakan runding.

Tanggal 5 Mei, pasukan VOC menduduki Ngampeldenta—wilayah yang menjadi poros spiritual masyarakat Islam pesisir. Makam-makam keramat di Ampel jatuh ke tangan Belanda. Speelman bahkan berjanji pada Trunajaya agar situs-situs wali tetap dipelihara, isyarat betapa pertempuran ini bukan sekadar politik, tetapi juga merambah ranah simbol-simbol sakral.

Kubu Belanda di Ampel menjadi pangkalan serangan. Dari sana, Speelman mencoba sekali lagi merajut perdamaian. Seorang wanita Melayu, istri prajurit Trunajaya, dikirim sebagai penghubung. Namun simbol bendera putih yang berkibar di Surabaya justru membingungkan. Grimmel, asisten Speelman, yang dikirim untuk menafsirkan maksud bendera itu, mendapati Trunajaya hanya menebar kata manis—bahwa ia “saudara Speelman”—tetapi di sekelilingnya meriam tetap diarahkan ke armada VOC.

Pada 9 Mei, Couper dan Leeuwenson, pejabat VOC, menunggu Panembahan di garis demarkasi. Sambil memegang cawan arak, Trunajaya berjanji akan datang “siang ini pukul setengah tiga”. Namun hingga trompet penanda senja ditiup, sang Panembahan tak pernah muncul. Yang hadir hanyalah abdi yang menunduk: “Gusti takut pada tembakan senapan.”

Di belakang gerbang, enam pucuk meriam berkaliber satu kilogram siap memuntahkan besi. Speelman pun menyimpulkan, tidak ada lagi diplomasi. “Kompeni telah memulai pekerjaan ini bukan untuk berhenti di tengah jalan,” tulis Couper mengutip perintah Speelman, “meskipun perang akan berlangsung sepuluh tahun, senjata kebenaran pasti menang.”

Galesong

Diplomasi Gagal, Benteng Runtuh

Dua minggu negosiasi di Surabaya hanya memperlihatkan satu hal: konflik di Jawa abad ke-17 lebih dari sekadar perebutan takhta. Ia adalah drama dendam aristokrasi, spiritualitas kejawen, patronase bajak laut Makassar, dan kepungan kapitalisme rempah. Trunajaya, dengan segala sikap mabuk dan siasatnya, berdiri sebagai simbol ambiguitas bangsawan pesisir, terombang-ambing antara cita-cita merdeka dan ketakutan pada hegemoni Kompeni.

Kubu pertahanan Surabaya yang berdiri di atas tanah berpasir, sungga rencong, dan tembok batu tidak mampu menahan Speelman. Kekeliruan menutup celah Ampel menjadi dosa strategi yang membuat istana runtuh tanpa pertempuran berarti. Subuh 13 Mei 1677, deru meriam VOC memecah fajar, dan dalam dua jam Surabaya yang disebut sekeras karang roboh. Trunajaya memilih mundur, membawa pasukan Makassar ke Kediri, sementara Speelman mendirikan markas di muara Kali Mas.

Namun jatuhnya Surabaya bukan akhir, melainkan pembuka babak baru. Dari tepian Kali Mas, diplomasi yang buntu melahirkan barisan meriam. Dari reruntuhan Surabaya, api dendam Trunajaya merembet ke Madura, Blitar, hingga pesisir timur lain, meninggalkan trauma sekaligus legenda bahwa di tanah Jawa setiap takhta selalu disiram darah.

Baca Juga : Pj Sekda Kabupaten Malang Tegaskan Wiyanto Wijoyo akan Kembali sebagai Kadinkes

Sejak awal, Madura bukan sekadar pulau satelit. Pamekasan adalah fondasi dendam Trunajaya, tempat ia merajut aliansi dengan para eksil Makassar pimpinan Karaeng Galesong. Di sinilah logistik disiapkan, semangat perang disulut, dan jejaring bangsawan pesisir dikokohkan. Bagi Speelman, setelah Surabaya roboh, Madura harus dilumpuhkan.

Tiga hari setelah benteng Surabaya jatuh, Speelman mengulurkan diplomasi. Ia mengutus Genading, seorang choelia keturunan Singhala, untuk merayu para pemuka Madura. Martapati, adipati Arosbaya, bersama Jayengpati dan Santamarta diboyong ke Gresik, diberi janji kehormatan jika setia pada Sunan Amangkurat. Namun kesetiaan ini rapuh. Di Arosbaya, Martapati sempat diarak rakyat, tetapi dalam tiga hari ia kabur ke Surabaya, takut dibantai pengikut Trunajaya. Diplomasi retak, Madura tetap menyala.

Di balik perang, terselip kisah pedih seorang perempuan bernama Mustika, putri Jayengpati. Suaminya, Sutatruna, dibunuh Trunajaya. Ia sendiri diperkosa. Luka itu dijadikan alat Speelman. Mustika dipaksa menulis surat untuk merayu ayahnya agar menyerah pada Sunan. Tetapi surat itu hanya menjadi lembaran sia-sia. Jayengpati tetap bertahan di pihak Trunajaya, membangun tembok baru dari bongkaran rumah Martapati. Mustika pun menjadi simbol bagaimana perlawanan disokong dendam, sekaligus menyisakan luka yang diwariskan.

Madura akhirnya tidak bisa dijinakkan dengan kata-kata. Pada 7 Juli 1677, armada Speelman menurunkan sauh di pesisir Arosbaya. Meriam menyalak, kota direbut, dijarah, lalu dibakar. Namun kepatuhan rakyat tidak kunjung datang. Jayengpati dan pengikutnya masih bergerilya di Maduretna. Speelman pun mengerahkan pasukan ke sana.

Tragedi pecah saat Kapten Harman van Harren mendarat di Kebanjar tanpa perintah. Serangan mendadak Trunajaya menewaskan 26 orang Belanda. Balas dendam Speelman membara. Maduretna dibakar, Soca dijarah, puluhan perahu dihancurkan. Desa-desa menjadi abu, lumbung padi musnah, rakyat terpaksa lari ke hutan.

Pada 19 Juli, Speelman menutup operasi dengan menyerbu Kebanjar. Lima belas tembakan meriam memukul mundur ribuan laskar Madura. Rumah rakyat dibakar, sawah dijarah, puluhan penduduk dibunuh. Pembersihan terakhir ini menorehkan luka panjang di tanah Madura.

Meskipun desa-desa dibakar dan kota-kota pesisir direbut, bara pemberontakan tidak pernah benar-benar padam. Trunajaya terus bergerak, bertahan di Kediri hingga akhirnya ditangkap pada akhir 1679. Eksekusinya di Payak 1680 menjadi pentas legitimasi bagi Amangkurat II, tetapi juga meninggalkan simbol perlawanan yang tak pernah hilang dari ingatan Jawa dan Madura.

Trunajaya

Dalam perspektif sejarah kritis, Speelman hanya berhasil menghancurkan benteng fisik, tetapi gagal memutus akar resistensi. Trunajaya tetap hidup dalam memori rakyat sebagai Hanoman yang mencabut pohon penindasan hingga ke akar. Dari Arosbaya yang terbakar, dari Kebanjar yang dijarah, dari Ampel yang diruntuhkan meriam, jejak perlawanan tetap mengendap.

Sejarah mencatat bahwa di tanah Jawa abad ke-17, diplomasi selalu beriringan dengan meriam, perjanjian selalu ditulis di atas parit bedil, dan setiap kompromi hanyalah perang yang ditunda.

Di antara dentuman meriam dan lembar perjanjian yang tak pernah tulus, kisah Trunajaya menjelma bukan hanya sebagai fragmen perang, melainkan juga sebagai narasi panjang tentang asal-usul, dendam, dan perlawanan.

Raden Trunajaya: Jejak Nasab, Dendam Sejarah, dan Bara Pemberontakan

Dalam denyut panjang sejarah Jawa abad ke-17, nama Raden Trunajaya berdiri sebagai figur paradoksal: di satu sisi ditulis dalam laporan VOC sebagai bandiet, pengacau jalur perdagangan, perampok ibu kota Mataram; di sisi lain, ia abadi dalam memori lisan Madura, Gowa, dan pesantren-pesantren Kedu sebagai simbol keberanian rakyat menentang takhta yang zalim dan dominasi asing yang kian mencengkeram.

Riwayat Trunajaya berakar dari Arosbaya, sebuah sentra bangsawan Islam di Madura yang sejak abad ke-15 telah menorehkan posisi penting di pentas politik Nusantara. Secara genealogis, ia menapaki jejak Majapahit-Islam melalui leluhurnya, Aria Damar, Adipati Palembang putra Prabu Brawijaya V. Dari garis itulah muncul Kiai Demang Plakaran, pionir dakwah Islam Madura, yang kemudian mewariskan Arosbaya kepada Kiai Pragalba, dikenal pula sebagai Pangeran Arosbaya. Tradisi lokal menyebut peran Arosbaya bukan hanya sebagai pusat kekuasaan lokal, tetapi juga simpul jejaring wali, dengan Sunan Kudus sebagai salah satu mitra spiritualnya.

Generasi berikutnya, Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Duwur, mengokohkan Arosbaya melalui strategi aliansi dengan Sultan Pajang. Pernikahannya dengan putri Hadiwijaya (Jaka Tingkir) melahirkan Pangeran Tengah, penguasa Arosbaya di awal abad ke-17. Namun masa damai itu berakhir pahit. Tahun 1624, ekspedisi militer Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Madura. Pusat kekuasaan Arosbaya dihancurkan, bangsawan-bangsawannya banyak yang gugur atau ditawan. Satu nama berhasil diselamatkan: Raden Prasena, yang kemudian diangkat sebagai Adipati Madura bergelar Cakraningrat I, menandai subordinasi Madura di bawah Mataram.

Dari Cakraningrat I lahir Demang Malayakusuma, ayah Raden Trunajaya. Maka, sedari awal Trunajaya memikul dua warisan paradoks: darah Majapahit-Islam yang membanggakan, sekaligus luka kolektif akibat penaklukan Mataram. Luka sejarah inilah yang membentuk dasar psikologis dan ideologis pemberontakannya.

Trunajaya tumbuh dalam iklim politik Madura yang gamang. Para adipati terpaksa tunduk pada Mataram, tetapi setia di permukaan saja. Dalam konteks itulah Trunajaya sejak muda menunjukkan bakat militer dan kelihaian menjalin jaringan. Langkah strategisnya adalah menikahi putri Raden Kajoran, ulama sufi karismatik dari Kedu yang masih berketurunan Sunan Tembayat. Kajoran, semula penasihat spiritual Amangkurat I, menjadi kecewa pada istana yang kian tenggelam dalam korupsi moral. Aliansi Trunajaya–Kajoran inilah yang menanam benih gerakan jihad sosial untuk menegakkan keadilan di Jawa.

Sumbu perlawanan kian membesar dengan datangnya Karaeng Galesong, bangsawan eksil Makassar. Setelah Kerajaan Gowa tumbang lewat Perjanjian Bongaya (1667), Galesong memimpin ratusan orang Makassar, Bugis, dan Mandar menolak tunduk pada VOC. Dalam koalisi dengan Trunajaya, pemberontakan lokal berubah menjadi perang regional berwajah transnasional. Penulis Belanda menyebutnya sebagai “aliansi bajak laut”, padahal di mata rakyat pesisir Jawa dan Sulawesi, mereka pejuang yang menolak “jongos VOC.”

Pada 1675–1677, Trunajaya–Kajoran–Galesong memusatkan konsolidasi di Demung, Madura Timur. Dengan ±2.100 pasukan dan armada perahu, mereka menyerbu pelabuhan vital Jawa Timur—Pasuruan, Pajarakan, Gerongan, Gresik. Daghregister VOC (1676) mencatat penduduk Surabaya eksodus massal, ketakutan pada “pasukan Madura dan Makassar” yang membakar gudang-gudang komoditas Mataram.

Juni 1677 menjadi puncak klimaks. Pasukan Trunajaya menduduki Plered, ibu kota Mataram. Amangkurat I melarikan diri, wafat di Tegal Arum, meninggalkan tahta rapuh yang direbut kembali oleh Adipati Anom (Amangkurat II) dengan bantuan VOC. Di sinilah paradoks sejarah itu memuncak: resistensi Trunajaya justru membuka pintu bagi campur tangan VOC lebih dalam ke jantung keraton Jawa.

Eksekusi Trunajaya

Trunajaya sendiri akhirnya terkepung di Pegunungan Kediri, ditangkap 25 Desember 1679, lalu dieksekusi di Payak pada 2 Januari 1680. Historiografi Belanda menulisnya sebagai perampok yang mati konyol. Namun di Madura dan pesantren Kedu, kisahnya dirawat sebagai simbol bahwa kekuasaan yang berdiri di atas tirani dan pengkhianatan tak akan langgeng. Dari nasab Majapahit-Islam, dendam penaklukan, hingga jejaring spiritual, Trunajaya membuktikan bahwa sejarah selalu menyimpan bara, menunggu waktu untuk membakar tirani.


Topik

Serba Serbi trunajaya mataram voc surabaya sejarah jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Madiun Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana