Lebih Sehat Mental dengan Pahami Emosi Diri: Pesan Psikolog RSI Unisma soal Emotional Awareness
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Yunan Helmy
18 - Sep - 2025, 07:35
JATIMTIMES – Banyak orang masih mengira sehat itu sebatas tubuh yang bugar. Padahal, menurut para ahli, kesehatan sejati baru tercapai jika raga dan jiwa sama-sama terjaga.
Hal ini disampaikan Psikolog Klinis Rumah Sakit Islam (RSI) Unisma Beta Bela Pratiwi MPsi dalam sebuah sesi bincang bertema Emotional Awareness atau kesadaran emosi.
Baca Juga : Lansia Asal Samarinda Tewas Tersambar Kereta di Kepanjen
“Tidak ada kata sehat tanpa sehat jiwa dan sehat raga. Kalau fisik kita sehat tapi mental terganggu, artinya kita sedang tidak sehat,” papar Bela dalam sebuah podcast belum lama ini.
Lebih jauh, Bela menjelaskan bahwa kunci kesehatan mental sebenarnya sederhana: memahami diri sendiri. Salah satu jalannya adalah dengan mengenali emosi yang muncul. “Sebagian besar gangguan mental sering berawal dari kesalahan dalam mengelola emosi. Kalau kita bisa mengenali, meregulasi, dan mengelolanya, insya Allah akan lebih mudah menjaga mental tetap stabil,” ujarnya.

Kesadaran emosi dianggap penting karena sering manusia tidak terbiasa memberi ruang pada perasaannya. Ada kecenderungan untuk menekan atau bahkan menyangkal emosi tertentu. Padahal, menurut Bela, sikap ini justru bisa memicu masalah lebih besar di kemudian hari, mulai dari stres kronis, depresi, hingga konflik dalam hubungan sosial.
“Emosi itu bukan musuh yang harus dilawan. Emosi adalah bagian dari diri kita. Dengan mengenalinya, kita bisa memilih respons yang lebih sehat dan tepat,” tambahnya.
Dalam ilmu psikologi, dikenal enam hingga tujuh emosi dasar: bahagia, sedih, marah, jijik, takut, dan perasaan penuh (full). Dari emosi dasar ini, lahirlah banyak turunan emosi lain. Misalnya, bahagia bisa muncul dalam bentuk cinta atau rasa sayang, sedih bisa lahir dari rasa kecewa, sementara marah bisa muncul karena luka batin atau rasa tidak dihargai.
“Dengan kita sadar, ‘hari ini aku merasa sedih’, maka kita bisa tahu apa yang harus dilakukan. Kalau ingin menangis, ya tidak apa-apa. Menangis hanyalah perilaku dari emosi sedih. Sama halnya dengan marah, itu wajar, baik pada laki-laki maupun perempuan,” kata Bela.
Ia menekankan bahwa masyarakat masih sering salah kaprah. Laki-laki kerap dilarang menangis, sementara perempuan dianggap tidak pantas untuk marah. Padahal, kedua emosi itu sama-sama manusiawi. “Yang terpenting bukan menekan emosinya, tetapi bagaimana mengelola agar tidak merusak diri maupun orang lain,” jelasnya.
Bela juga mengungkapkan fakta menarik soal perbedaan pola emosi antara laki-laki dan perempuan. Secara umum, perempuan cenderung lebih banyak menggunakan emosi dibanding laki-laki. Hal ini membuat perempuan lebih peka, tetapi juga lebih rentan mengalami gangguan berbasis emosi.
“Kalau laki-laki, gangguan mental yang muncul biasanya lebih banyak terkait kognisi atau pikiran. Jadi ada semacam perbedaan cara kerja: laki-laki lebih mengedepankan logika, sedangkan perempuan lebih mengedepankan emosi,” ungkapnya.
Baca Juga : Aktivis Soroti Tunjangan Gubernur Khofifah yang Mencapai Rp 1,38 Miliar Sebulan
Bela bahkan menyelipkan contoh ringan yang mudah dipahami. Menurutnya, saat melamar seseorang, waktu bisa memengaruhi jawaban. “Kalau melamar di pagi hari, biasanya logika calon pasangan lebih dominan. Pertanyaan soal penghasilan, masa depan, itu yang muncul duluan. Tapi kalau malam hari, orang lebih emosional. Kata-kata ‘aku sayang kamu’ bisa langsung mengena di hati,” ujarnya sambil tersenyum.
Untuk mengelola emosi, Bela menyarankan langkah sederhana: sadari dulu apa yang dirasakan. Setelah itu, izinkan emosi hadir tanpa perlu merasa bersalah. Jika sedih, biarkan menangis. Jika marah, akui rasa itu dan pilih cara yang sehat untuk menyalurkannya, seperti menulis, berolahraga, atau berbicara dengan orang yang dipercaya.
“Dengan begitu, emosi tidak menumpuk menjadi bom waktu. Karena kalau terus ditekan, dampaknya bisa keluar dalam bentuk yang lebih berbahaya,” jelasnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya keterampilan self-regulation atau pengaturan diri. Ini bisa dilatih lewat mindfulness, latihan pernapasan, atau sekadar menyediakan waktu hening untuk menenangkan diri. “Kecil, tapi sangat berarti. Itu bisa membantu menjaga pikiran tetap jernih dan hati lebih tenang,” tambahnya.
Bela berharap masyarakat semakin sadar bahwa emosi bukan sesuatu yang harus ditutupi. Justru dengan memahami dan mengelola emosi, hidup akan terasa lebih ringan. Hubungan dengan orang lain pun akan lebih harmonis.
“Kalau kita bisa mengelola emosi, kualitas hidup kita meningkat. Kita jadi lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih siap menghadapi tantangan hidup,” tutupnya.